*copy paste dari igosaputra.com
Suatu hari di tengah
hutan belantara bernama Hutan Pengalasan Kulon yang ada di sebelah tenggara
Gunung Slamet ada seorang petualang bernama Ki Tepus Rumput tengah khusyuk
bersemedi. Ia duduk bersila diatas sebuah batu ceper yang membentuk sebuah altar, di
bawah pohon besar nan rindang. Matanya terpejam, diam.
Rambut di kepalanya
sudah panjang tak terurus, kumis dan jambangnya awut-awutan. Tubuhnya kurus
kering, pipinya cekung, pertanda sudah berhari-hari Ia menjalani semedi tanpa
makan dan minum.
Petualang
sebatangkara itu adalah murid Syech Subakir. Ia ditugaskan bersama istrinya
untuk membuka hutan di wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai pemukiman
untuk ditempati bersama keturunannya. Malang tak dapat ditolak, belum sampai
tugasnya usai, istrinya meninggal.
Ki Tepus Rumput pun
sendirian meratapi nasib malangnya. Ia kemudian menghabiskan waktunya dengan
menenggelamkan diri dalam laku tapa brata.
Sampai pada suatu
malam, ditengah semedinya, Ia didatangi sesosok manusia berjanggut panjang dan
berjubah putih. Sosok tersebut mengaku sebagai leluhurnya dan bernama Ki
Kantharaga. Ia lalu menasehati agar Ki Tepus menghapus kesedihannya, Ki Tepus
disarankan Ki Kantha untuk ‘move on’.
Menurut Ki Kantha,
Ia bisa memiliki istri kembali asal menemukan sebuah cincin bernama ‘Soca
Ludira’. Ki Kantha juga memberikan ‘clue’ bahwa cincin tersebut berada di dekat
sebuah pohon jati berbau wangi. Ki Kantharaga berpesan, bila cincin telah
ditemukan agar segera diserahkan kepada Sultan Hadiwijaya di Keraton Kasultanan
Pajang.
(Dalam Bahasa Jawa
Kuno, ‘Soca’ berarti ‘Mata’ dan ‘Ludira’ adalah ‘Darah’)
Ki Tepus terjaga
dari tapa brata. Otaknya dipenuhi kebingungan dan keheranan atas pertemuan
ghaibnya dengan Ki Kantharaga. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan
batu-batu yang terdapat di sekitar tempatnya bersemedi. Tumpukan batu paling
atas lalu digambari wajah bayangan tadi dengan menggunakan kapur sirih.
(Tempat dimana
batu-batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal dengan Dusun Bata Putih yang
saat ini ada di wilayah Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet)
Untuk menenangkan
diri dan mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai cincin Soca Ludira, Ki
Tepus Rumput kemudian melanjutkan semedinya. Ia baru terjaga mendengar kokok
ayam jantan dan melihat pelangi berpendar di langit yang cerah. Kemudian, Ia
mendekati sumber suara itu dan bertemu dengan sosok pertapa bernama Ki Onje
Bukut. Di sekitar tempat pertemuannya banyak ditemukan bunga burus alias onje sehingga
daerah tersebut dinamakan Trukah Onje.
Kepada Ki Onje, Ki
Tepus menceritakan pertemuan gaibnya dengan Ki Kantharaga dan pesan-pesan yang
disampaikannya. Ki Onje kemudian menyarankan agar Ki Tepus mencari ‘Jati Wangi’
di Gunung Tukung yang terletak di sebelah timur Gunung Slamet.
Ki Tepus menuruti
saran Ki Onje dan pergi ke Gunung Tukung. Ia menemukan sebuah pohon jati yang
secara ajaib mengeluarkan aroma harum disekitarnya. Tepat di bawah pohon jati
berbau wangi, Ia kemudian bersemedi. Setelah sekian lama bersemedi, Ia melihat
cahaya merah berkilauan kemudian jatuh tepat ditengah kakinya yang tengah
bersila.
Ki Tepus lalu
terjaga dan betapa terkejutnya sebuah cincin tergeletak di hadapannya. Ia
kemudian menyadari, cincin itulah yang dimaksud Ki Kantharaga sebagai Cincin
Soca Ludira. Sesuai pesan Ki Kantharaga, Ki Tepus kemudian berkemas dan
mengantarkan cincin sakti itu ke pusat Kesultanan Pajang.
Sayembara Cincin Soca Ludira dan Berdirinya Kadipaten
Onje
Sebelumnya, Keraton
Pajang tengah dilanda geger. Cincin kesayangan Sang Sultan hilang tak tahu
rimbanya. Sultan Hadiwijaya yang pada masa mudanya dikenal sebagai Jaka Tingkir
dan memiliki nama kecil Mas Karebet itu kemudian mengadakan sayembara.
Barangsiapa menemukan Cincin Soca Ludira, jika perempuan akan diangkat sebagai
selir, jika laki-laki akan diberikan selirnya yang paling cantik.
Tidak dinyana tak
diduga, cincin ini ternyata ditemukan oleh seorang yang jauh-jauh datang dari
tenggara Gunung Slamet, Ki Tepus Rumput. Perkataan Sultan adalah Sabda Pandita
Ratu, tak kena wola wali. Sultan Pajang pun memenuhi janjinya. Ki Tepus Rumput
dianugerahi seorang selirnya yang paling cantik. Ia merupakan Putri Adipati
Menoreh.
Tak hanya itu, Ki
Tepus Rumput diberi pula jabatan adipati untuk daerah dimana Ia bersemedi
seluas 200 grumbul / kampung. Ia kemudian diberi gelar Ki Ageng Ore-ore atau
Raden Ore-Ore.
Namun, pemberian
selir ini juga disertai janji-janji agar Ki Tepus Rumput yang sekarang sudah
bergelar bangsawan Raden Ore-Ore jangan dulu menggaulinya. Sebab, selir Jaka
Tingkir tersebut sedang keadaan mengandung empat setengah bulan. Ki Tepus baru
boleh menggaulinya setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan.
/ingsun ora wani-wani sapa kang anemokaken
manira paringi bojoningsun bocah desa asal putrane Kiyai Dipati Menoreh iya
rawatana ananging iya wus meteng olih kapat tengah iya iku poma-poma aja kowe
tumpangi, inggih sakelangkung saking panuwun kula lan sira manira paringi bumi
karya rongatus mardika lan sira manira sengkakaken ing luhur sinebut Kiyai
Ageng Ore-ore, nunten lajeng mantuk dhateng dhusun Teruka ing Onje, sareng dugi
ing mangsa zhohir ingkang putra miyos kakung lajeng ngunjuki uninga dhateng/ -
Babad Onje -
Setelah
penganugerahan selir dan gelar adipati, Raden Ore-ore kemudian undur diri untuk
kembali ke tempat asalnya. Sang Sultan memberikan pengawalan prajurit Pajang
yang dipimpin oleh empat orang perwira bernama Puspa Jaga, Puspa Raga, Puspa
Kantha dan Puspa Dipa.
Setelah sampai di
daerah hutan dekat tempat semedinya, rombongan Raden Ore-ore dihadang rombongan
begal yang dipimpin bekas pengikut Harya Penangsang bernama Putera Jala. Ia
bermaksud merampas puteri selir yang dibawa rombongan tersebut. Namun, empat serangkai
Puspa berhasil mengalahkan Putera Jala dan mereka bisa melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, sampailah mereka di Trukah Onje dengan selamat.
Raden Ore-ore
dibantu dengan Pasukan Pajang dan abdi dalem yang diberikan Sultan Pajang
kemudian mengembangkan wilayah tersebut menjadi sebuah kadipaten. Tak lama
kemudian, wilayah tersebut berkembang pesat dan di beri nama Kadipaten Onje.
Ada salah satu grumbul / dusun di Kadipaten Onje diberi nama ‘Surti’ yang
berasal dari perkataan ‘sur puteri’ atau ‘lungsuran puteri’. Hal itu merujuk
bahwa Nyai Ore-Ore merupakan lungsuran atau bekas selir Sultan Pajang.
Tak lama kemudian
Nyai Ore-ore melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi ini lalu dibawa ke Pajang
dan oleh Sultan Hadiwijaya yang tak lain ayah kandungnya diberi nama Raden
Anyakrapati. Sultan berpesan agar kelak, Raden Anyakrapati yang menggantikan
Raden Ore-Ore menjadi adipati di Kadipaten Onje. Raden Ore-ore juga mendapatkan
tambahan wilayah kekuasaan 835 grumbul dan 7 keluarga kepala desa untuk
mengabdi di Kadipaten Onje.
/Sareng sampun dugi ing mangsa nunten
kasaosaken melebu. Pangandikane Kanjeng Sultan, ”ingsun derma bae, iya sira
kang anduweni anak. Iki dadi wewinih ana ing desa, lan manira paringi bumi
karya wolungatus tigang lawe, sarta katandha upacaraning bupati, lan keparingan
nama Kiyai Dipati Anyakrapati ing Onje, lan manira gawani sentana kamisepuh
pitung somah dadia emban-embane aning desa Onje. Ana dene ratune Pandhomasan
Timbang, Purbasari satus, Bobotsari Kertanegari satus, Kadipaten satus, Kontawijayan
satus, Bodhas Mertasanan Mertamenggalan satus, Toyareka satus kawan desa,
Selanga Kalikajar pitung desa, Onje kalihatus/ - Babad Onje –
Setelah dewasa dan
dipandang mampu memegang tampuk pimpinan Raden Ore-ore memenuhi janjinya dan
menyerahkan jabatan Adipati Onje kepada anak tirinya. Raden Anyakrapati pun
menjabat sebagai Adipaten Onje II. Akhirnya, anak kandung Jaka Tingkir itu pun
menjadi Adipati Onje. Sementara, Raden Ore-ore alias Ki Tepus Rumput memilih
untuk berkelana kembali.
Tragedi Dua Puteri
Adipati Onje II
memiliki dua orang istri. Pertama, Rara Kelingwati, puteri dari Kadipaten Pasir
Luhur yang berada di Tanah Pasundan. Selain itu, Ia juga mempersunting seorang
puteri dari Adipati Cipaku bernama Rara Pakuwati atau dipanggil juga Dewi
Medang. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah di Kadipaten Onje.
Adipati Onje tidak
mendapatkan keturunan dari Puteri Keling. Sedangkan dengan Rara Pakuwati, Ia
menurunkan dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Raden Mangunjaya atau
Raden Mangunegoro, Raden Citrakesuma dan yang paling bungsu adalah Rara
Banowati.
Raden Mangunegara
namanya diabadikan menjadi sebuah desa yang saat ini berada di wilayah
Kecamatan Mrebet. Rara Banowati kawin dengan seorang Arab bernama Sayid
Abdullah yang kemudian diserahi jabatan penghulu merangkap Imam Masjid Onje.
Sayid Abdulah inilah kemudian yang dikenal dengan nama Raden Sayid Kuning yang
sekarang diabadikan menjadi nama masjid tertua di Desa Onje.
Ada kisah memilukan
tentang dua istri Adipati Onje II ini. Suatu hari, saat Sang Adipati sedang
nyenyak tidur, tiba-tiba dibangunkan oleh suara jeritan dua orang wanita.
Adipati kemudian beranjak ke belakang rumah dan melihat kedua orang istrinya
tengah bertengkar hebat. Pertengkaran keduanya tak bisa dilerai dan semakin
menjadi.
Akhirnya, Sang
Adipati hilang kesabaran dan gelap mata, diambilnya sebuah pedang dan dengan pedang itu, kedua istrinya dibabat silih berganti sehingga mereka meninggal dunia.
Peristiwa memilukan ini tentu saja terdengar Adipati Cipaku, mertuanya,
sehingga murka luar biasa. Adipati Cipaku kemudian mengeluarkan larangan bagi
anak turunannya agar tidak menikah dengan orang-orang Onje.
Setelah peristiwa
tragis terbunuhnya dua istri ditangannya sendiri, Adipati Onje II Raden
Anyakraprati tak lama menduda. Ia kemudian kawin lagi dengan puteri dari Arenan
bernama Nyai Pingen. Perkawinan mereka menurunkan dua orang anak laki-laki
bernama Ki Wangsantaka atau juga dikenal dengan Ki Yudantaka, dan Ki Arsakusuma
yang ketika dewasa dikenal dengan Ki Arsantaka. Ki Arsantakalah inilah yang kemudian akan mengawali Kadipaten Purbalingga.
Kedua kakak beradik
ini memiliki sifat yang cukup berseberangan. Sementara Ki Yudantaka lebih suka
bertani, adiknya lebih suka berpetualang. Namun, keduanya sama-sama tidak
kerasan tinggal di Onje dengan saudara-saudara tirinya. Ki Yudantaka kemudian
menekuni kegemaranya bertani, pindah ke Kedungwringin dan akhirnya meninggal
disana. (Saat ini, Kedungwringin termasuk dalam wilayah Desa Karangjambe yang
ada di Kecamatan Padamara, Purbalingga).
Sebaliknya Ki
Arsantaka yang gemar mengembara, mengikuti jejak kakek angkatnya Ki Tepus
Rumput, kemudian memilih meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Sampailah Ia
di Desa Masaran dan diangkat sebagai anak oleh sesepuh Masaran bernama Ki
Rindik atau Ki Wanakusuma yang merupakan keturunan Ki Ageng Giring dari
Mataram. Sekira tahun 1740-1760, Ki Asantaka mejabat Demang Pagendolan.
(Sekarang termasuk Desa Masaran, ada di Kecamatan Bawang, Banjarnegara).
Ki Arsantaka
mempunyai dua isteri. Pertama, Nyai Merden yang merupakan keturunan Raden
Wargautama II alias Joko Kaiman, menantu Adipati Wirasaba yang mendirikan
Kabupaten Banyumas (Baca : Tragedi Adipati Wirasaba). Disinilah ada kaitan
antara keturunan Onje dan Wirasaba. Istri kedua adalah Nyai Kedunglumbu. Pada
perkawinannya dengan Nyai Merden, Arsantaka memiliki lima orang anak, yaitu Ki
Arsamenggala, Ki Dipayuda Gabug, Ki Arsayuda, Ki Ranumenggala dan Nyai
Pancaprana. Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera
yaitu, Mas Candiwijaya.
Semasa Arsantaka
menjabat Demang Pagendolan, wilayahnya dibawah kekuasaan pemerintahan
Karanglewas yang dipimpin seorang ngabehi bernama Tumenggung Dipayuda I.
Sementara Karanglewas merupakan wilayah bawahan Banyumas yang waktu itu
dipimpin Tumenggung Yudanegara III (1730-1749). Tumenggung Dipayuda I dan
Tumenggung Yudanegara III adalah kakak beradik, sama-sama putera Tumenggung
Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728. Sementara,
Kadipaten Banyumas merupakan wilayah Mancanegara Kilen yang masuk wilayah
kekuasaan Kesultanan Surakarta yang saat itu dipimpin oleh Paku Buwana III.
Saat itu, tahun
1749, terjadilah perseteruan antara Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi
yang melahirkan Perang Mangkubumen. Kadipaten Banyumas memihak kepada
Pakubowono III dan mereka mengirimkan pasukan yang dipimpin langsung Adipati
Banyumas, Tumenggung Yudanegara III. Perwira pasukan Banyumas ada Ngabehi
Karanglewas Dipayuda I, Demang Pagendolan Ki Arsantaka, Demang Sigaluh Ki
Mertoboyo dan Demang Penggalang Ki Ronodipuro. Pasukan Pakubowono juga didukung
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor De Clerk dan Kapitain Hoetje.
Pada sebuah
peristiwa Perang Mangkubumen yang terjadi di Desa Jenar (Bagelen), Pasukan
Pakubuwono III terdesak dan dikepung Pasukan Mangkubumi yang mengantarkan Mayor
De Clerk dan Kapiten Hoetje tewas. Pertempuran jenar juga trut mengantarkan
Dipayuda I menghembuskan nafas terakhir. Jasadnya sempat hilang. Ki Arsantaka
lah yang kemudian mencari dan menemukannya, konon masih lengkap dengan seragam
kompeni berwarna ungu. Jenazah Dipayuda I dibawa ke Kadipaten Banyumas karena
keluarga besarnya berasal dari sana. Sebab meninggal dalam pertempuran di
Jenar, diberi julukan Ngabehi Seda Jenar. Dipayuda I dikebumikan di Astana Redi Bendungan, Desa
Dawuhan, Banyumas.
Kemudian, kedudukan
Dipayuda I sebagai Ngabehi Karanglewas digantikan putera dari Yudanegara III yang kemudian disebut dengan
Dipayuda II. Sebagai rasa terima kasih atas jasa Ki Arsantaka dalam Perang
Mangkubumen dan menyelamatkan jenazah puteranya, Yudanegara III mengambil salah
satu putera Ki Arsantaka, yaitu, Ki Arsayuda sebagai menantu. Selain itu,
Ki Arsayuda juga diberi anugerah, diangkat menjadi Patih Karanglewas.
Tumenggung Dipayuda
II tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas, hanya sekitar tiga tahun,
1755-1758. Ia sakit-sakitan dan meninggal dengan sebutan Nagabehi Seda Benda.
Jabatannya sebagai Ngabehi Karanglewas kemudian dilimpahkan pada patihnya, Ki
Arsayuda yang kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III.
Atas petunjuk dan
bimbingan Kiai Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di Karanglewas dipindahkan ke sebuah wilayah
yang dianggap lebih subur dan strategis bernama Purbalingga. Sejak saat itulah,
Purbalingga lepas dari Banyumas, menjadi kadipaten yang tersendiri dibawah
Kasultanan Surakarta. Menurut catatan Kantor Kesantanan Sidikoro, Baluwerti,
Keraton Surakarta pada hari Senin Legi 26 Selo tahun Ehe 1684 (tahun jawa) atau
23 Juli 1759 dibangunlah alun-alun dan rumah kadipaten serta segala sesuatunya
yang berkaitan dengan pusat pemerintahan.
Dengan demikian,
lahirlah Purbalingga dengan adipati / bupati pertama adalah Ki Arsayuda, putera
Ki Arsantaka dari Kadipaten Onje dengan Nyai Merden yang merupakan anak Adipati
Wargautama II (Adipati Mrapat) dari Kadipaten Wirasaba. Ki Arsayuda tak lain adalah
cucu dari Adipati Onje II, buyut dari Sultan Pajang Hadiwijaya alias Jaka
Tingkir yang diberikan kepada Ki Tepus Rumput.
Ki Arsayuda kemudian
bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III, memerintah tahun 1759-1787. Pada
perkawinan dengan puteri Yudanegara III, Ia dikaruniai dua orang anak,
yaitu Nyai Citrawangsa dan Masajeng
Trunawijaya. Dipayuda III menikah lagi dengan dengan Nyai Tegal Pingen (puteri
Ki Singayuda yang juga cucu Pangeran Makhdum Wali Perkasa dari Pekiringan,
Karangmoncol). Dari perkawinan ini, Dipayuda III menurunkan 5 orang anak,
yaitu, Dipakusuma I yang meneruskan jabatan ayahnya menjadi Bupati Purbalingga
kedua (1792-1811), Raden Dipawikrama (menjadi Ngabehi Dayeuhluhur), Raden
Kertosono (menjadi Patih Purbalingga), Raden Nganten Mertakusuma Kemranggon dan
Kiai Kertadikrama yang menjadi Demang Purbalingga.
Dipakusuma I
kemudian digantikan anak sulungnya Danakusuma yang kemudian bergelar Raden Mas
Tumenggung Bratasudira sebagai bupati ketiga yang memerintah tahun 1811-1831.
Danakusuma merupakan putera Dipakusuma I dengan Raden Ayu Angger, puteri
Pangeran Prabu Aria Amijaya yang merupakan cucu Mangkunegara I. RMT Bratasudira
digantikan anaknya RMT Adipati Dipakusuma II sebagai bupati keempat (1831-1855)
yang merupakan puteranya dengan Mbok Mas Widata dari Kawong.
RT Dipakusuma II
kemudian digantikan anaknya R. Adipati Dipakusuma III sebagai bupati kelima
(1855-1868), puteranya dengan istri kedua Raden Ayu Karangsari, puteri RT
Citrasuma, Bupati Jepara. R. Adipati Dipakusuma III kemudian digantikan R
Adipati Dipakusuma IV sebagai bupati keenam (1868-1883) yang merupakan putera
Dipakusuma II dengan istri ke 3 nya yang bernama Raden Ayu Brobot.
Bupati ketujuh
adalah RT Dipakusuma V 1883-1893 yang menggantikan ayahnya Dipakusuma IV. Ia
merupakan anak Dipakusuma IV dengan istrinya yang bernama Raden Ayu Dipa
Atmaja. Berikutnya. Tampuk kekuasaan Bupati ke 8 adalah Raden Brotodimejo
1883-1899 yang sebelumnya menjadi Patih Purbalingga. Brotodimejo digantikan RT
Adipati Dipakusuma VI 1899-1925 yang merupakan adik Dipakusuma V. Lalu, Ia
digantikan K.R.A.A Soegondo 1925-1946, putera Dipakusuma IV yang juga menantu
dari Pakubuwono X. Setelah era Soegondo terjadi kekosongan kekuasaan karena
terjadinya revolusi kemerdekaan sampai kemudian pemilihan bupati dipilih oleh
DPRD setelah Republik Indonesia berdiri.