Sebelum lahirnya Kerajaan Sunda, didahului oleh
Kerajaan Salaka Negara dan Tarumanegara. Setelah Tarumanegara hancur karena
serangan Sriwijaya, Tarusbawa meneruskan kepemimpinan Tarumanegara yang
kemudian menjadi Kerajaan Sunda.
Raja-Raja Kerajaan Sunda :
1. Maharaja Tarusbawa (669 – 732 M)
- Pendiri
Kerajaan Sunda, disebut pula Tohaan di Sunda (Raja di Sunda)
- Asal
dari Sundasambawa
- 669
M naik tahta menggantikan Raja Mulawarman (mertua), raja terakhir Tarumanegara
- Memindahkan
ibu kota di dekat hulu sungai Cipakancilan (cipeucang)
- Meninggal
th 723 M
2. Sanjaya
(723 – 732 M)
- Suami
dari cucu Tarusbawa
- Merebut
kekuasaan Galuh dari Rahyang Purbasora yg merebut kekuasaan dari ayahnya
(Bratasenawa/Rahyang Sena), dan Galuh berada pada kekuasaannya
- Menjadi
Raja Kalingga Mataram (mataram kuno) th 732 M
3. Temperan
Barmawijaya (732 – 739 M)
- Berputra
Hariang Banga dan Ciung Wanara (lain ibu)
- Meninggal
ketika terjadi pemberontakan oleh Ciung Wanara/Sang Manarah
4. Hariang
Banga (739 – 766 M)
- Bergelar
Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya
- Pada
th 759 M Galuh lepas dari Pakuan shg wlayah Kekuasaannya hanya di sebelah barat
Sungai Citarum
- Beristri
Dewi Kancana Sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), berputra Rakeyan
Medang
5. Rakeyan
Medang (766 – 783 M)
- Bergelar
Prabu Hulu Kujang
- Karena
tidak mempunyai anak laki-laki, kekuasaan jatuh ke menantunya, Rakeyan Hujung
Kulon
6. Rakeyan
Hujung Kulon (783 – 795 M)
- Bergelar
Prabu Gilingwesi
- Berasal
dari Galuh, putra sang Mansiri
- Karena
tidak mempunyai anak laki-laki, kekuasaan jatuh ke menantunya, Rakeyan Diwus
7. Rakeyan
Diwus (795 – 812 M)
- Bergelar
Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara
- Berputra
Rakeyan Wuwus
8. Rakeyan
Wuwus (812 - 891 M)
- Bergelar
Prabu Gajah Kulon
- Menikah
dengan putri Raja Galuh Sang Welengan (806 – 813 M)
- Karena
Raja Galuh Prabu Linggabumi/kakak ipar (813 – 842 M) meninggal, kerajaan Galuh
di bawah kekuasaannya
9. Arya
Kedatwan (891 – 895 M)
- Berasal
dari Istana Galuh
- Adik
ipar Rakeyan Wuwus
- Bergelar
Prabu Darmaraksa
- Tidak
disenangi oleh pembesar istana Sunda
- Dikudeta
dan meninggal th 895 M
- Kekuasaan
jatuh ke anaknya, Rakeyan Windusakti
10. Rakeyan
Windusakti (895 – 913 M)
- Bergelar
Prabu Dewageng
- Digantikan
oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading
11. Rakeyan
Kamuning Gading (913 – 916 M)
- Bergelar
Prabu Pucukwesi
- Dikudeta
oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri th 916 M.
12. Rakeyan
Jayagiri (916 – 942 M)
- Bergelar
Prabu Wanayasa
- Digantikan
oleh menantunya, Rakeyan Watu Agung
13. Rakeyan
Watu Agung (942 – 954 M)
- Bergelar
Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
- Dikudeta
oleh sepupunya, putra Kamuning Gading ‘Sang Limburkancana’
14. Limburkancana
(954 – 964 M)
- Diteruskan
oleh putra sulungnya, Rakeyan Sundasambawa
15. Rakeyan
Sundasambawa (964 – 973 M)
- Naik
tahta sunda menggantikan ayahnya
- Bergelar
Prabu Munding Ganawirya
- Tidak
berputra, kekuasaan jatuh ke adik iparnya, Rakeyan Wulung Gadung
16. Rakeyan
Wulung Gadung (973 - 989 M)
- Bergelar
Prabu Jayagiri
- Tahta
diwariskan ke putranya, Rakeyan Gendang
17. Rakeyan
Gendang (989 – 1012 M)
- Bergelar
Prabu Brajawisesa
- Digantikan
oleh cucunya, Prabu Dewa Sanghiyang
18. Prabu
Dewa Sanghiyang (1012 – 1019 M)
- Berputra
Prabu Sanghiyang Ageung
19. Prabu
Sanghiyang Ageung (1019 – 1030 M)
- Memerintah
kerajaan Sunda yang berkedudukan di Galuh
- Menikah
dengan putri Sriwijaya yang masih kerabat dengan Raja Wurawuri, dan berputra
Jayabhupati
20. Sri
Jayabhupati (1030 – 1042 M)
- Bernama
Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati
- Menantu
dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa (mertua Erlangga)
- Istrinya
adalah adik Dewi Laksmi (istri Airlangga/1019 – 1042 M) yang kemudian menjadi
Prameswarinya
- Membuat
prasasti Cibadak (Prasasti ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi)
- Mendapat
gelar ‘Dharmawangsa’ dari mertuanya dan dicantumkan dalam prasasti Cibadak
- Meninggal
th 1042 M
21. Prabu
Dharmaraja (1042 – 1065 M)
- Naik
tahta sunda menggantikan ayahnya, Sri Jayabhupati
- Bernama
Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnu Murti Salaka Sunda Buana
- Dipusarakan
di desa Winduraja Kec. Kawali Kab. Ciamis, sehingga dikenal dengan nama Sang
Mokteng Winduraja. Cicit dari raja ini ‘Prabu Dharmakusuma’ juga dipusarakan di
sini
- Ada
angggapan bahwa sepeninggal Sri Jayabhupati, pusat pemerintahan Sunda bukan di
pakuan tetapi di kawasan timur
- Digantikan
oleh menantunya ‘Prabu Langlang Bumi/Prabu Langlang Buana’
22. Prabu
Langlang Bumi / Prabu Langlang Buana (1065 – 1155 M)
- Berputra
Rakeyan Jayagiri
23. Rakeyan
Jayagiri (1155 – 1157 M)
- Bergelar
Prabu Menak Luhur
- Tahta
sunda diteruskan oleh putranya ‘Prabu Dharmakusuma’
24. Prabu
Dharmakusuma (1156 – 1175 M)
- Pusat
pemerintahan di Pakuan
- Digantikan
oleh putranya ‘Prabu Dharmasiksa’
25. Prabu
Dharmasiksa (1175 – 1297 M)
- Pusat
Pemerintahan di Pakuan
- Disebut
juga Resi Guru Dharmasiksa / Sanghiyang Wisnu
- Dalam
naskah Parahiyangan, Ia memerintah selama 150 th, sedangkan dlm naskah
Wangsakerta tersebut angka 122 th (1097-1219 Saka / 1175-1297 M)
- Naik
tahta setelah Prabu Jayabaya penguasa Kediri meninggal (1135-1159 M)
- Menyaksikan
lahirnya kerajaan Majapahit th 1293 M
- Digantikan
oleh putranya ‘Rakeyan Saunggalah’
26. Rakeyan
Saunggalah (1297 – 1303 M)
- Bergelar
Prabu Raga Suci
- Pusat
Pemerintahan di Saunggalah Kuningan
- Dipusarakan
di Taman sehingga disebut Sang Mokteng Taman
- Digantikan
oleh putranya ‘Prabu Citra Ganda’
27. Prabu
Citra Ganda (1303 – 1311 M)
- Pusat
Pemerintahan di Pakuan
- Dipusarakan
di Tanjung, sehingga dikenal dengan Sang Mokteng Tanjung
- Tahta
diwariskan kepada putranya ‘Prabu Lingga Dewata’
28. Prabu
Lingga Dewata (1311 – 1333 M)
- Pusat
Pemerintahan di Kawali
- Tidak
berputra, putrinya ‘Rimalestari’ menikah dengan Ajiguna Linggawisesa
- Dipusarakan
di Kikis, sehingga dinamakan Sang Mokteng Kikis
29. Prabu
Ajiguna Linggawisesa (1333 – 1340 M)
- Berkedudukan
di Keraton Kawali
- Beranak
3 : Prabu Ragamulya Luhur Prabawa ( Sang Aki Kolot) yang menggantikan tahtanya,
Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon, dan ketiga Prabu Suryadewata
yang menjadi Raja Galuh. Prabu Surya Dewata menurunkan raja-raja kerajaan
Talaga dan meninggal di hutan raja/wanaraja saat berburu
- Prabu
Ajiguna Wisesa dimakamkan di Kiding, sehingga disebut Sang Mokteng Kiding
30. Prabu
Ragamulya Luhur Prabawa (1340 – 1350 M)
- Karena
meninggal di Taman, disebut dengan Salumah ing Taman
- Kekuasaan
sunda diwariskan kepada putranya ‘Prabu Maharaja Lingga Buana Wisesa’
31. Prabu
Lingga Buana Wisesa (1350 – 1357 M)
- Gugur
di medan perang dalam perang Bubat bersama putrinya ‘Dyah Pitaloka’ atau putri
Citra Resmi
- Karena
putranya ‘Wastukancana’ masih berumur 9 th, kekuasaan digantikan oleh adiknya
Patih Mangkubumi Suradipati yg dikenal dengan nama Prabu Bunisora
- Karena
meninggal di Bubat, Prabu Lingga Buawana Wisesa dikenal dengan Sang Mokteng
Bubat
32. Prabu
Bunisora (1357 – 1371 M)
- Berkedudukan
sbg Patih Mangkubumi saat pemerintahan Prabu Linggabuana
- Kekuasaan
Sunda digantikan oleh Wastukancana
33. Prabu
Niskala Wastukancana (1371 -1382 M)
- Disebut
juga Prabu Anggalarang
- Membagi
wilayah sunda menjadi 2 kepada anaknya, sebelah barat (Pakuan) dan sebelah
timur (Galuh)
- Meninggal
di Nusalarang shg disebut Sang Mokteng Nusalarang
34. Prabu
Susuk Tunggal (1382 – 1474 M)
- Putra
diri Wastukancana dan Rara Sarkati (Putri Penguasa Lampung)
- Disebut
juga Sang Haliwungan
- Berkuasa
di wilayah Parahiyangan bagian barat yg bertahta di Pakuan. Sedang Prabu Dewa
Niskala saudara seayah lain ibu memerintah di Galuh (Parahiyangan timur)
- Membangun
pusat pemerintahan dan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati
- Putrinya
‘Kentring Manik Mayang Sunda’ menikah dengan Jayadewata (putra Prabu Dewa
Niskala, Raja Galuh)
- Tahta
Sunda digantikan oleh Jayadewata
PEMERINTAHAN
PAJAJARAN
1. Jayadewata/Sri Baduga
Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513).
Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh
pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39
tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali,
yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu
Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika
ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa
ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal
dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai
lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah
tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat
Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana
(kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan
tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul)
waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang
beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat
kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di
perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi
Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana,
sebagai berikut:
“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan
musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir
berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani
menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang
jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur
tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa
negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran
Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga,
menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena
itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu
Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah
menurut penuturan orang Sunda.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga
setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya
(Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia
masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah
satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut
(artinya saja):
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka
selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan
ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare
dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara
agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan
diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan”
(ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak
tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1
gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra,
“upeti”, “panggeureus reuma”.
Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah
Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh
carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng
timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak
dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra”
(Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus
dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu,
memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung”
(ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa
“piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan
pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung
Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan,
desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan
juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat
sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan.
Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal
dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran
sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan
negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda
Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi
menjadi Jakarta yang sekarang.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan
sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat
kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka
adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan
Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai
1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)
dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan
Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam
bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini
dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila
hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya
dalam jaman Pajajaran.
Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak
dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang
Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda)
keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara
di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama
Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura/Sekitar Cirebon), memiliki
3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang.
Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti
serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang
diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara
penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung
Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik
untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar
agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana
mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana
dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari
kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh
Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri
Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota Cirebon.
Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam,
hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI
(RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang
dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon.
Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai
menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana Pajajaran.
Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk
masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya tersebut,
walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya, Subang Larang beragama
islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak
terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat
memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran.
Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I
sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun
1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang
seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan
raja (penguasa) Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan
kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon.
Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta
tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu
Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri
Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri
Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek, oleh karena itu ketegangan
antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan. Sri Baduga
hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap
Kerajaan Cirebon.
Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat
Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan
antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika
terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan
dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin
berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk
meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kian Santang bersedih
dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan
kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut
Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta
pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan
bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).
Kian Santang kembali ke istana Pajajaran, dan
selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kian Santang tidak
lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang
ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai
kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kian Santang menyerahkan tahta kerajaan
kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan
juga cucu Prabu Susuktunggal).
2. Surawisesa (1513 – 1535)
Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan
Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon
adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana
(dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah
Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran”
(perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia
melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang
berkaitan dengan hal ini.
Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat
pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang
berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Portugis akan
mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang
datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang
keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai
dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang
dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap
bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip
Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in
dubbel, waarvan elke partij een behield”.
Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat
mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan
Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan
Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan
juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi
kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di
bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah
menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan
memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah
dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih
terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak
Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden
Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya
Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan
Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini
telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran
Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan
pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak.
Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota
Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief
Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon.
Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan
Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas
di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur.
Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak
dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena
Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa
di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal.
Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa
ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di
Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju
Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan
dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao
pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa
Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin
Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui
perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa
sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak,
kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela,
wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon
sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun
lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani
turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan.
Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran
Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak
tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya
menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara
seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka
lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula
Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh
Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada
tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak
ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi
pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya
dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang
menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon
merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik
dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak
berdiri sebagai negara merdeka.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan
peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil
memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang
kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya,
beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati
Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga
yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan:
“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan
untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana
dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran.
Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra
Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu
Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan
berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena
Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.”
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam
prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi
astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu
“penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat.
Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya
dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal
dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya,
Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar
Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit
Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun
Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun
lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya,
ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya
dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan”
Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.
3. Ratu Dewata
(1535 – 1534)
Surawisesa
digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal
sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat
alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan
pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum
susu. Menurut istilah sekarang ”vegetarian”.
Menurut Carita
Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak
ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah
mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para
perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan
benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak
mampu menembus gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu
Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan
jasa Rakeyan Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau
berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali
dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas
pada jaman Sri Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni
I/2 sebagai berikut (artinya saja):
"Sang Maharaja
membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya,
membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh
kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.
Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama
prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan,
memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan
kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Gagal merebut
benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan
menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang
dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata
yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat
karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang
dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh
kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana.
Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan
sindiran (kepada para pembaca)
“Nya iyatna-yatna
sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”
(Maka
berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya
penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena
ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana
ta precinta” (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543
– 1551)
Raja Pajajaran
keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu
Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan
lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat
dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat
dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali”.
Kemudian raja ini
melakukan pelanggaran, yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran”
(wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan
berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu
ia diturunkan dari tahta kerajaan.
5. Ratu Nilakendra
(1551 – 1567)
Nilakendra atau
Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat
itu situasi kenegaraan sudah tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda
segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong
huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan
makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini
merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Prabu Nilakendra
tidak perduli pada situasi ini, dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan
pesta pora makanan enak, seperti diceritakan dalam Carita Parahyangan:
“Lawasnya ratu
kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka
sangkan beunghar”
(Karena terlalu
lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal
makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Prabu Nilakendra
juga tidak perduli untuk membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah
keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang
larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris
yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya
memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera
yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan
merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya,
ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera
inilah yang diandalkannya menolak musuh.
Kondisi kerajaan
yang tak menentu dan melihat penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa
Banten ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau
masih buyut dari Sri Baduga Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih
kerajaan Pajajaran.Serangan Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin
dan putranya Maulana Yusuf. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah
prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal
di keraton).
Peristiwa kekalahan
Nilakendra ini terjadi ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah,
sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh
kesultanan Banten.
6. Raga Mulya (1567
– 1579)
Raja Pajajaran yang
terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah
Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak
berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia
disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Walaupun hanya menguasai wilayah
kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat bertahan selama 12 tahun di
wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya diserang kembali oleh kesultanan
Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.
Sejarah Banten
memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan
dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
“Waktu
keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun
Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.
Walaupun tahun
Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan
perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada
tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu
Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Menurut Pustaka
Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
“Pajajaran sirna
ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .
(Pajajaran lenyap
pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh
pada tanggal 8 Mei 1579 M. Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi
cikal bakal penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Naskah Banten
memberitakan, bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi
“penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak
memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan
Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke
dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Berakhirlah Pemerintahan Kerajaan Pajajaran (1482 –
1579) yang ditandai dengan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana, Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm, tempat duduk kala
seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan (Kesultanan Banten) oleh
pasukan Sultan Maulana Yusuf.
KESULTANAN BANTEN (Pemerintahan Islam)
Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah (1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Banten :
1. Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Hidayatullah Al-Misri (Sunan Gunung Jati/Jati Purba) (1513-1552). Beliau adalah Raja Kesultanan Cirebon yang melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah cucu Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, dari putrinya Nyai Ratu Rara Santang, setelah menikah dengan Raja Mesir Syarief Abdulah Al-Misri (Keturunan Rasulullah Nabi Muhammad SAW ke-22). Menikah dengan Kanjeng Gusti Ratu Pembayun (Putri tertua Maharaja Kesultanan Demak, Sultan Fatah/Putra tertua Raja Majapahit, Prabu BRAWIJAYA V). Wilayah kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.
2. Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Maulana Hasanudin Al-Misri/Maulana Saba Kingking (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan dari Charuban (Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).
3. Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Maulana Yusuf Al-Misri (1570-1580). Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.
4. Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Maulana Muhammad Al-Misri (1580-1596)
5. Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Abul Mafachir Rachmatullah Al-Misri (1596-1640)
6. Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Abul Ma’ali Achmad Rachmatullah Al-Misri/Kyai Ageng Tirtayasa (1640-1651)
7. Sri Baduga Baginda Maharaja Kanjeng Sultan Agung Abul Tatghi Abdul Fatah Al-Misri/Sultan Wangi Ageng Tirtayasa (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda (VOC), dan menolak perjanjian monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional.
8. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abun Nazar Abdul Kahar Al-Misri (1675-1687)
9. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abu Fadhl Moehammad Yahya (1687-1690)
10. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Zainul Abidin Al-Misri (1690-1733).
11. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abul Fatah Muhammad Syafei Zainul Arifin Al-Misri (1733-1747)
12. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abun Nasar Moehammad Zainul Asikin Al-Misri (1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger, Susuhunan Paku Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb, maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo.
13. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abul Mafachir Moehammad Aliuddin A-Misri (1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.
14. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Achmad Al-Misri (1802-1810-1811). Berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Surosowan Bantan. Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10 Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya.
Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Inggris, Thomas Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah segteru dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad, karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menagkap Sultan Achmad dan membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluara bangsawan De’Orange, sepupu keluarga Buckingham.
Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan tinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
15. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abdulah A-Misri. Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat 1860.
16. Sri Baduga Baginda Maharaja Pangeran Gunawan Martakusumah Al-Misri.
17. Sri Baduga Baginda Maharaja Pangeran Abdullah Halim Prawita Purnama Al-Misri.
18. Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abul Mafachir Muhammad Heruningrat Siliwangi Al-Misri. Wafat di Bogor 12 November 1989.
19. Sri Baduga Baginda Maharaja Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harya Rachmatullah Heruningrat Siliwangi Al-Misri II. His imperial majesty Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Maharaja, majesty Kaiser Kanjeng Maha Pagusten, Emperor Sultan Agung Maha Prabu Syarief Abul Mafachir Muhammad Heruningrat Siliwangi Al-Misri II. Lahir di Jakarta 30 september 1963 (Legal Crown of The Monarchies of the Sovereign Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity.
Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.
-diambil dari artikel seorang blogger-