Saturday, November 23, 2019

MASUKNYA KATOLIK KE INDONESIA


Istilah Gereja Katolik digunakan secara khusus untuk menyebut Gereja yang didirikan di Yerusalem oleh Yesus dari Nazaret (sekitar tahun 33 Masehi) dan dipimpin oleh suatu suksesi apostolik yang berkesinambungan melalui Santo Petrus Rasul Kristus, dikepalai oleh Uskup Roma sebagai pengganti St. Petrus, yang kini umum dikenal dengan sebutan Paus. 
"Gereja Katolik" diketahui pertama kali digunakan dalam surat dari Ignatius dari Antiokhia pada tahun 107, yang menulis bahwa: "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ.

·         
Masa Yesus

Kehadiran Yesus di dunia adalah sebagai awal lahirnya Gereja.



Masa Para Rasul 

Perkembangan gereja pada masa ini sampai pada tahap mendirikan perkumpulan Jemaat Perdana yang juga disebut Gereja Perdana. Mereka selalu bertekun pada ajaran para Rasul, berkumpul, berdoa, dan memecahkan roti bersama. Mereka menganggap segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Mereka juga membagikan harta sesuai dengan keperluan. Yang paling berperan di masa ini adalah St. Petrus. Setelah Yesus wafat, Petrus menjadi sosok yang beriman dan pemberani.



Masa Sesudah Para Rasul

Masa ini Gereja sudah berpusat di Roma, tempat wafatnya St.Petrus. Pemimpin gereja yang pertama adalah St.Petrus. Penerus St. Petrus disebut "Uskup Roma" atau "Paus".


Masuk ke Indonesia

Sejarah Katolik di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis.
Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil.
Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi Pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.


Masa Pendudukan Pedagang Belanda ( VOC ) / Kompeni

Sejak kedatangan dan kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619 – 1799, akhirnya mengambil alih kekuasaan politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk VOC yaitu Flores dan Timor.
Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang kemudian diprotestankan saat itu, seperti yang terjadi dengan komunitas-komunitas Katolik di Ambon.
Imam-imam Katolik diancam hukuman mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1624  Pastor Egidius d’Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara.
Pastor A. de Rhodes, seorang Yesuit Perancis, pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan pembakaran salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de Rhodes diusir (1646).
Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria, terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.
Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat diliputi perang dahsyat antara Perancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Perancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedaulatannya.
Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijkatau Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar.


Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah.
Pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia
Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik  pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) berkuasa menggantikan VOC dengan pemerintah Hindia Belanda . Kebebasan beragama kemudian diberlakukan, walaupun agama Katolik saat itu agak dipersulit.
Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun 1889, kondisi ini membaik, di mana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.
Dan perkembangan agama Katolik di Pulau Jawa dimulai dengan masuknya Pastor Van Lith.


Masa Van Lith

Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.
Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool di tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di tahun 1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat.

Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranata, SJ.



Masa Perjuangan Kemerdekaan/Pasca Kemerdekaan

Albertus Soegijapranata menjadi Uskup Indonesia yang pertama ditahbiskan pada tahun 1940. Tanggal 20 Desember 1948 Romo Sandjaja terbunuh bersama Frater Hermanus Bouwens, SJ di dusun Kembaran dekat Muntilan, ketika penyerangan pasukan Belanda ke Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Romo Sandjaja dikenal sebagai martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Mgr. Soegijapranata bersama Uskup Willekens SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.Banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti Adisucipto, Agustinus (1947), Ignatius Slamet Riyadi (1945) dan Yos Sudarso (1961).


Masa Orde Baru


Kardinal pertama di Indonesia adalah Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia pada 1970. Kemudian tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan DIY), Maumere (Flores) dan Dili (Timor Timur).

Monday, October 21, 2019

FALETEHAN / FATAHILAH

Menurut sejarah Cirebon yang disusun oleh P. S. Sulendraningrat, diriwayatkan sebagai berikut :
Pada Abad 14 Masehi, Sayid Jamaludin Al Husein, seorang keluarga dekat Sultan Sulaeman dari kerajaan Islam Irak yang berkedudukan di Baghdad, mempunyai tiga orang anak :
1.            Ali Nurul Alim;
2.            Barkat Zaenal Alim;
3.            Ibrahim Zaenal Akhbar.

Ketiganya setelah cukup cakap dalam ilmu agama Islam, merantau untuk berdakwah sebagai misi-misi Islam dari Kerajaan Irak (Baghdad) dalam rangka penyebaran Agama Islam diluar Kerajaan Irak.
Ali Nurul Alim ke Kerajaan Mesir dan menetap di Kairo sampai dapat menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan Kerajaan Mesir, beliau mempunyai seorang Putra bernama Syarif Abdullah, setelah dewasa Syarif Abdullah menikah dengan Putri Mahkota Mesir. Ayah dari Putri Mahkota Mesir meninggal dunia, kemudian Putri Mahkota dinobatkan sebagai Sultan Mesir, sedangkan suaminya Syarif Abdullah diberi gelar “Sulthon” dengan nama Sulthon Makhmud Syarif Abdullah.

Tak lama kemudian sultan Mesir Istri dari Sulthon Makhmud Syarif Abdullah meninggal dunia, maka selanjutnya Negara Mesir dipercayakan kepada Sulthon Makhmud Syarif Abdullah untuk meneruskan memimpin Pemerintahan Mesir.
Sulthon Makhmud Syarif Abdullah kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan Ratu Mas Rara Santang seorang saudara muda kandung Pangeran Cakrabuana Putra Mahkota Kerajaan Padjajaran, dari pernikahan ini dikaruniai dua orang Putra ialah : Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah (adik).

Barkat Zaenal Alim melalui darat datang ke Gujarat, sedangkan Ibrahim Zaenal Akhbar datang ke Cempa / Kamboja, masing-masing ditempat kedatangannya beliau-beliau itu menetap menjadi warga Negara.
Adapun Barkat Zaenal Alim mempunyai seorang cucu bernama Maulana Makhdar Ibrahim yang setelah dewasa dan cukup cakap dalam Ilmu Agama Islamnya, merantau dan berdakwah dan sampailah di Basem Pasai / Aceh, disana beliau menikah dengan Putri Mahkota Aceh, setelah Ayahanda Putri Mahkota Aceh itu wafat, kemudian Putri Mahkota itu menjadi Sultan di Aceh. Memerintah bersama suaminya yang diberi gelar Sulthon Huda. Sulthon Huda ini mempunyai dua orang anak ialah yang Putra bernama Fadhillah Khan dan yang Putri bernama Ratu Gandasari.

Portugis pada tahun 1511 M merebut Kerajaan dan Kesultanan-Kesultanan Malaka, kemudian pada tahun 1521 M Portugis merebut dan menguasai Pasai / Aceh setelah mendapatkan perlawanan dari Pemuda dan Tentara Aceh keluarga Sulthon Huda, termasuk Fadhillah Khan mengungsi ke Mekkah dan Bagdad disamping menunaikan Ibadah Haji juga mendalami Ilmu Agama Islamnya, disamping meminta bantuan untuk memerangi / mengusir orang Portugis dari Aceh.

Oleh penguasa Mekkah dan Baghdad pada waktu itu, Fadhillah Khan dianjurkan untuk datang ke Pulau Jawa, oleh karena di Pulau Jawa sudah ada dua Negara Besar yang beragama Islam ialah CIREBON dan DEMAK yang sedang giat-giatnya menyebarkan Agama Islam. Sesuai anjuran itulah Fadhillah Khan kemudian datang ke Demak untuk memperkuat barisan misi Islam di Demak. Demak saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono, Fadhillah Khan kemudian menikah dengan salah seorang adik perempuan Sultan Trenggono yang bernama Ratu Pulung, Fadhillah Khan dengan bermodalkan Ilmu Agama yang tinggi dan cakap dalam bidang strategi perang, maka oleh Sultan Trenggono diangkat sebagai Senopati atau Jenderal Pertama Tentara Demak. Demak ingin mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, kala itu Portugis di Sunda Kelapa mempunyai hubungan baik dalam perdagangannya dengan Pajajaran dan Kerajaan Pucuk Umun di Banten.
Strategi Kesultanan Demak, untuk merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis, maka Banten harus dikuasai lebih dahulu. Dari strategi itu maka Sultan Demak memerintahkan Fadhillah Khan (Faletehan) dengan membawa pasukan menuju Banten. Sebelum ke Banten, harus mampir ke Cirebon menemui Sunan Syarif Hidayatullah, karena Cirebon mempunyai kepentingan terhadap Banten, dimana Syarif Hidayatullah mempunyai istri seorang Putri Banten Nyi Mas Kawunganten dan mempunyai seorang Putra bernama Sebakingkin (nama kecil) setelah besar dinamai Maulana Hasanudin. Oleh Sunan Syarif Hidayatullah pasukan dari Demak ditambah dari pasukan Cirebon dibawah pimpinan Fadhillah Khan (Faletehan) berangkat menuju Banten.

Pada tahun 1526 M di Banten pasukan Demak dan pasukan Cirebon ditambah pasukan dari Kawunganten dibawah Maulana Hasanudin secara bersama-sama menggempur Kerajaan Pucuk Umun di Banten Girang. Setelah Banten dikuasai, maka Maulana Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan pertama di Banten oleh Sultan Syarif Hidayatullah. Setelah Banten diserahkan kepada Sultan Maulana Hasanudin, maka Fadhillah Khan dengan pasukannya kembali ke Cirebon, kemudian menikah dengan Ratu Ayu (seorang janda dari Alm. Sultan Demak II) seorang Putri dari Sunan Syarif Hidayatullah.

Pada tahun 1527 M Fadhillah Khan, Pangeran Cirebon, Dipati Suraneggala, Dipati Cangkuang ditambah pasukan dari Banten, pasukan gabungan ini menggempur Sunda Kelapa yang merupakan bawahan Pakuan Pajajaran yang diduduki oleh Portugis, setelah Sunda Kelapa dikuasai, maka Fadhillah Khan diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa yang kemudian menjadi JAYAKARTA dan terakhir kita kenal sebagai JAKARTA.
Fadhillah Khan oleh orang Portugis dilisankan menurut lidah Portugis menjadi “ FALETEHAN “.

Friday, September 13, 2019

7 (Tujuh) LANGIT DAN PERISTIWA ISRA MIKRAJ


Pemahaman tentang ‘tujuh langit’ berkembang sesuai pemahaman manusia tentang alam semesta. Dalam kebudayaan Eropa kuno, orang menganggap langit itu berlapis-lapis, dengan bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrik) :
1.       Bulan berada pada langit pertama
2.       Merkurius berada pada langit kedua
3.       Venus berada pada langit ketiga
4.       Matahari berada pada lagit keempat
5.       Mars berada pada langit kelima
6.       Jupiter berada pada langit keenam
7.       Saturnus berada pada langit ketujuh
Di luar langit tujuh itu ada bintang-bintang lainnya. Dahulu, orang juga mengaitkan dengan astrologi atau peramalan bintang, yaitu bahwa benda-beda langit (yang dikaitkan dengan kepercayaan akan dewa penguasanya) mempengaruhi kehidupan di bumi, bergantian dari jam ke jam dimulai dari yang terjauh.
1.       Hari pertama jam pertama dipengaruhi oleh Saturnus, maka disebut hari Saturnus atau Saturday
Mungkin pula bukan sebagai suatu kebetulan bahwa tanggal 1 Januari tahun 1 Masehi adalah hari Sabtu. Jam berikutnya yang berkuasa adalah Jupiter, Mars, matahari, Venus, Merkurius, dan bulan. Demikian seterusnya berurutan dalam 24 jam.
2.       Hari kedua jam pertama jatuh pada Matahari, maka disebut hari Matahari (Sun) atau Sunday
3.       Hari ketiga jam pertama jatuh pada Bulan (Moon) atau Monday
4.       Hari keempat jam pertama jatuh pada Mars (Tue) atau Tuesday
5.       Hari kelima jam pertama jatuh pada Merkurius (Wooden) atau Wednesday
6.       Hari keenam jam pertama jatuh pada Jupiter (Thorn) atau Thursday
7.       Hari ketujuh jam pertama jatuh pada Venus (Freya) atau Friday
Selanjutnya berkembang model Ptolomeus yang menyatakan bahwa Merkurius dan venus mengelilingi Matahari, tetapi selebihnya tetap dianggap mengelilingi bumi.
Model yang diusulkan Copernicus berubah sama sekali dengan model heliosentrik, dengan Matahari sebagai pusat alam semesta. Matahari dikelilingi oleh Merkurius, Venus, Bumi, Mars. Sedang di luar Saturnus, kosep lama masih digunakan , bahwa di luar itu adalah tempatnya bintang-bintang lainnya.

Tujuh langit pada kisah Isra Mikraj
Dalam konteks Ilmu Pengetahuan, perjalanan Isra Mikraj yang dilakukan nabi  Muhammad dinilai sebagai perjalanan antar dimensi. Hal ini bermakna, beliau telah diajak Djibril keluar dari dimensi ruang-waktu menuju dimensi yang lebih tinggi. Untuk memahami perjalanan antarwaktu, kita ibaratkan ada alam dua dimensi berbentuk bidang ‘U’ besar. Sebut saja makhluk di alam itu serupa semut. Semut tersebut untuk berpindah dari ujung ‘U’ yang satu keujung yang lain harus menempuh jarak yang jauh. Kita bisa dengan mudah mengangkat semut tersebut dari satu ujung ke ujung lainnya, jaraknya jelas lebih pendek. Demikianlah analogi sederhana perjalanan antardimensi, mekanismenya di luar kemampuan sains, tetapi Allah telah memperjalankan hambanya (nabi Muhammad) bersama Djibril yang memang berada di luar dimensi yang lebih tinggi dari dimensi ruang-waktu. Logika seperti hanya untuk menunjukkan bahwa Isra Mikraj dengan jasadnya (bukan sekedar Ruh) bukan hal yang mustahil.
Bersama Djibril, Nabi Muhammad keluar dari dimensi ruang-waktu yang membatasi pola pikir manusia pada jarak dan waktu. Sedangkan waktu dalam dimensi ruangwaktu tidak mungkin berjalan mundur. Dengan keluar dimensi ruangwaktu, nabi Muhammad tidak lagi terikat oleh jarak dan waktu. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dapat dilakukan sekejap, sementara Nabi Muhammad masih bisa mengamati kafilah dalam perjalanannya dan tetap bisa merasakan fenomena fisik dimensi ruangwaktu, seperti minum susu yang ditawarkan Djibril. Nabi pun bisa berdialog dengan para Nabi lainnya karena tidak ada lagi batasan waktu. Nabi pun mendapat gambaran surga dan neraka yang juga bukan fenomena ruang-waktu kita, sehingga tidak mungkin dijelaskan secara tepat dimana dan kapan adanya.
Langit pada kisah Isra Mikraj bukan merupakan langit fisik seperti dalam Al Quran. Penyebutan langit pertama sampai ketujuh pada kisah Isra Mikraj hanya ada dalam hadist. Informasi Nabi ini menggambarkan perjalanan yang tidak lazim menurut kebiasaan manusia, tetapi diyakini benar terjadi. Dimensi ruang-waktu tidak lagi membatasi perjalanan beliau. Setelah Isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, Nabi mikraj ke langit, langit pertama sampai ke tujuh. Nabi Muhammad bertemu para Nabi :
1.       Nabi Adam di langit pertama
2.       Nabi Isa dan Nabi Yahya di langit kedua
3.       Nabi Yusuf di langit ketiga
4.       Nabi Idris di langit keempat
5.       Nabi Harun di langit kelima
6.       Nabi Musa dilangit keenam
7.       Nabi Ibrahim di langit ketujuh
Jelas pertemuan dengan para Nabi itu bukan di planet-planet lain di langit, karena para Nabi yang telah wafat tidak berada di planet-planet tertentu.
Sidratul Muntaha pun bukan suatu tempat dan saat yang keberadaannya dalam dimensi ruang-waktu. Keyakinan adanya dimensi lain di alam juga didasari pada keyakinan akan adanya Jin dan Malaikat yang berada di luar dimensi ruang-waktu. Dua jenis makhluk itu tidak dibatasi ruang sehingga dengan mudahnya pergi kemanapun dan tidak dibatasi waktu. Kalau mengikuti analogi makhluk di dimensi dua tersebut di atas, kita yang hidup di ruang dimensi tiga bisa melihat tingkah laku makhluk serupa semut tersebut, tetapi makhluk tersebut tidak mengetahui keberadaan kita karena di luar dimensinya. Demikian juga manusia tidak mengetahui keberadaan Jin dan Malaikat, walau kita tahu mereka ada di dalam alam mereka dan mampu mengetahui gerak gerik kita.
Kisah Isra Mikraj tidak bisa dianalisis dengan teori relativitas dengan anggapan Nabi Muhammad berjalan dengan kecepatan cahaya bersama Buroq. Bila kita gunakan teori relativitas, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Menurut teori relativitas, pada kerangka yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya yang tercatat di jam menjadi lebih lambat. Artinya orang yang berjalan mendekati kecepatan cahaya akan merasa lebih muda dan waktu yang dialaminya lebih singkat dibandingkan dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karenanya kita mengenal ‘paradok anak kembar’ pada teori relativitas. Saudara kembar yang merantau dengan kecepatan mendekati cahaya akan mendapati saudaranya yang ditinggalkan lebih tua dari dirinya menurut rekaman waktu yang dibawanya. Yang dialami Nabi justru kebalikannya, Nabi mengalami perjalanan waktu sangat panjang sehingga bertemu dengan para Nabi dan berbagai peristiwa lainnya, sedangkan para sahabat yang ditinggalkannya hanya merasakan waktu satu malam.
Logika sains untuk menggambarkan perjalanan Nabi Muhammad sebagai perjalanan antar dimensi hanyalah upaya untuk menjelaskan bahwa Isra Mikraj benar adanya dan dilakukan dengan fisik, bukan sekedar mimpi atau perjalanan dengan ruh. Perjalanan antardimensi oleh manusia biasa memang belum dimungkinkan secara eksperimen, tetapi konsep dimensi fisik yang lebih dari sekedar dimensi ruang-waktu dikenal dalam sains. Sains dapat membantu memperkuat akidah tanpa harus mereka-reka dalam cerita pseudosains (sains semu, karena tidak didasarkan sains yang benar).   

Sunday, July 7, 2019

RAJA - RAJA GALUH

Dalam postingan ini, saya menyimpan daftar Raja - Raja pemerintahan Galuh yang saya copy dari wikipedia.

Sebelum berdirinya Kerajaan Galuh, didahului oleh kerajaan Kendan dengan Rajanya :
  • Resi Maha Guru Manikmaya (536 - 568 M)
- Manikmaya di sini bukanlah Bathara Guru, hanya saja namanya yang sama
- Seorang Brahmana Ulung (Pemuka Agama) yang menyebarkan Agama Hindu ke berbagai negara dan menetap di Jabar. Datang dari Jawa Timur.
- Berasal dari keluarga Calankayana (India Selatan)
- Menikah dengan Tirtakancana (Putri Tarumanegara-Suryawarman)
- Mendapat wilayah kekuasaan dari Raja Suryawarman di Kendan, perbukitan Nagreg Bandung
  • Baladika Suraliman (568 - 597 M)
- Anak Manikmaya
- Menikah dengan Dewi Mutyasari (Putri Bakulapura-Kutai) dan memiliki 2 anak, Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati
  • Sang Kandiawan (597 - 612 M)
- Sebelum menjadi Raja Kendan, telah menjadi Raja di daerah Medang Jati atau Medang Gana dengan gelar Rahiyangta ri Medang Jati
- Menjadi Raja Kendan Bergelar Raja Resi Dewaraja
- Pusat pemerintahan tidak di Kendan, tetapi di Medang Jati (Cangkuang-Bandung)
- Beragama Hindu Wisnu, sedang Raja sebelumnya beragama Hindu Siwa
- Memiliki 5 Putra yang masing-masing menjadi Raja bawahan Kendan yang berlokasi di Bandung dan Garut
- Wretikandayun sbg anak bungsu yang menjadi rajaresi Menir (bawahan Kendan) menggantikan ayahnya Sang Kandiawan menjadi Raja Kendan, kemudian memindahkan pusat pemerintahan di Galuh (bermakna harfiah : Permata) yang sekarang lokasinya di desa Karang Kamulyan Kec, Cijeungjing Kab. Ciamis

Menurut Naskah Wangsakerta daftar lengkap raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh antara lain:
  • Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612/3-670/1) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.
  • Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702/3-709/10) M.
  • Sang Senna atau Sanna631-638 Saka/ (709/10-716/7) M.
  • Sang Purbasora (638-645) Saka/ (716/7-723/4) M.
  • Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723/4-732/3) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732/3-739/40) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.
  • Sang Manisri (705-721) Saka/ (783/4-799/800) Masehi sebagai raja Galuh.
  • Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799/800-806/7) sebagai raja Galuh.
  • Sang Welengsa (728-735) Saka (806/7-813/4) M sebagai raja Galuh.
  • Prabhu Linggabhumi (735-774) Saka/ (813/4-852/3) M sebagai raja Galuh.
  • Danghyang Guru Wisuddha (774-842) Saka/ (852/ 3-920/1) M sebagai ratu Galuh.
  • Prabhu Jayadrata (843-871) S/ (921/2-949/50 M sebagai ratu Galuh.
  • Prabhu Harimurtti (871-888) S/ (949/50-966/7) M.
  • Prabhu Yuddhanagara (888-910) S/ (966/7-988/9) M sebagai ratu Galuh.
  • Prabhu Linggasakti (910-934) S/ (988/9-1012/3) M sebagai ratu Galuh.
  • Resiguru Dharmmasatyadewa (934-949) S (1012/3-1027/8) M sebagai raja Galuh.
  • Prabhu Arya Tunggalningrat (987-1013) S/ (1065/6-1091/2) M sebagai raja wilayah Galuh.
  • Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya (1013-1033) S/ (1091-1111) M sebagai ratu Galuh.
  • Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibu kota Galunggung.
  • Prabhu Dharmmakusuma (1074-1079) S/ (1152/3-1157/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
  • Prabu Guru Darmasiksa (1097-1219) S/ (1157/8-1297/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
  • Rakeyan Saunggalah (1109-1219) S/ (1167/8-1297/8) M sebagai ratu Galuh, (1219-1225) S/ (1297/8-1303/4) M menjadi Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Maharaja Citragandha (1225-1233) S/ (1303/4¬-1311/2) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Maharaja Linggadewata (1233-1255) S/ (1311/2-1333/4) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Maharaja Ajiguna (1255-1262) S/ (1333/4-1340/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Maharaja Ragamulya (1262-1272) S/ (1340/1¬-1350/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Maharaja Linggabhuwana (1272-1279) S/ (1350/1-1357/8 M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  • Mangkubhumi Suradhipati (1279-1293) S/ (1357/8-1371/2) M, Maharaja Galuh dan Sunda .
  • Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1293-1397) S/ (1371/2¬-1475/6), penguasa Galuh dan Sunda.
  • Dewa Niskala atau Ningrat Kancana (1397-1404) S/ (1475/6-1482/3 M, sebagai raja Galuh.
  • Prabhu Ningratwangi (1404-1423) S/ (1482/3-1501/2) M, sebagai ratu Galuh mewakili kakaknya, Sri Baduga Maharaja penguasa Galuh dan Sunda.
  • Prabhu Jayaningrat (1423-1450) S/ (1501/2-1528/9) M Prabhu Jayaningrat bukan ratu Galuh terakhir, dan kerajaan Galuh tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebonnamun Kawali tidak jadi pusat Kerajaan Galuh tetapi berpindah ke Galuh Salawe Pangauban di Cimaragas, Ciamis.
  • Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh Salawe ( 1528-1595 ) di Cimaragas, Ciamis. Masa Kerajaan Galuh berakhir di jaman Mataram 1595 saat itulah raja raja di seluruh pulau Jawa termasuk galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram.[10].[11]
  • Prabu Cipta Permana (1595-1618) M raja Kerajaan Galuh terakhir? Dapat pula dilihat dalam Daftar Bupati Ciamis dimana Adipati Panaekan (1618 - 1625) M sebagai bupati Galuh pertama (Kerajaan Galuh jadi Kabupaten Galuh sampai tahun 1914) atau Ciamis (nama Kabupaten Ciamis sejak 1916 zaman bupati Aria Sastrawinata yang menjabat tahun 1914 - 1935)

Wednesday, July 3, 2019

DARI PEMERINTAHAN SUNDA HINGGA KESULTANAN BANTEN


Sebelum lahirnya Kerajaan Sunda, didahului oleh Kerajaan Salaka Negara dan Tarumanegara. Setelah Tarumanegara hancur karena serangan Sriwijaya, Tarusbawa meneruskan kepemimpinan Tarumanegara yang kemudian menjadi Kerajaan Sunda.

Raja-Raja Kerajaan Sunda :

1.       Maharaja Tarusbawa (669 – 732 M)
-          Pendiri Kerajaan Sunda, disebut pula Tohaan di Sunda (Raja di Sunda)
-          Asal dari Sundasambawa
-          669 M naik tahta menggantikan Raja Mulawarman (mertua), raja terakhir Tarumanegara
-          Memindahkan ibu kota di dekat hulu sungai Cipakancilan (cipeucang)
-          Meninggal th 723 M

2.       Sanjaya (723  – 732 M)
-          Suami dari cucu Tarusbawa
-          Merebut kekuasaan Galuh dari Rahyang Purbasora yg merebut kekuasaan dari ayahnya (Bratasenawa/Rahyang Sena), dan Galuh berada pada kekuasaannya
-          Menjadi Raja Kalingga Mataram (mataram kuno) th 732 M

3.       Temperan Barmawijaya (732 – 739 M)
-          Berputra Hariang Banga dan Ciung Wanara (lain ibu)
-          Meninggal ketika terjadi pemberontakan oleh Ciung Wanara/Sang Manarah

4.       Hariang Banga (739 – 766 M)
-          Bergelar Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya
-          Pada th 759 M Galuh lepas dari Pakuan shg wlayah Kekuasaannya hanya di sebelah barat Sungai Citarum  
-          Beristri Dewi Kancana Sari (keturunan Demunawan dari  Saunggalah), berputra Rakeyan Medang

5.       Rakeyan Medang (766 – 783 M)
-          Bergelar Prabu Hulu Kujang
-          Karena tidak mempunyai anak laki-laki, kekuasaan jatuh ke menantunya, Rakeyan Hujung Kulon

6.       Rakeyan Hujung Kulon (783 – 795 M)
-          Bergelar Prabu Gilingwesi
-          Berasal dari Galuh, putra sang Mansiri
-          Karena tidak mempunyai anak laki-laki, kekuasaan jatuh ke menantunya, Rakeyan Diwus

7.       Rakeyan Diwus (795 – 812 M)
-          Bergelar Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara
-          Berputra Rakeyan Wuwus

8.       Rakeyan Wuwus (812 - 891 M)
-          Bergelar Prabu Gajah Kulon
-          Menikah dengan putri Raja Galuh Sang Welengan (806 – 813 M)
-          Karena Raja Galuh Prabu Linggabumi/kakak ipar (813 – 842 M) meninggal, kerajaan Galuh di bawah  kekuasaannya

9.       Arya Kedatwan (891 – 895 M)
-          Berasal dari Istana Galuh
-          Adik ipar Rakeyan Wuwus
-          Bergelar Prabu Darmaraksa
-          Tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda
-          Dikudeta dan meninggal th 895 M
-          Kekuasaan jatuh ke anaknya, Rakeyan Windusakti

10.   Rakeyan Windusakti (895 – 913 M)
-          Bergelar Prabu Dewageng
-          Digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading

11.   Rakeyan Kamuning Gading (913 – 916 M)
-          Bergelar Prabu Pucukwesi
-          Dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri th 916 M.

12.   Rakeyan Jayagiri (916 – 942 M)
-          Bergelar Prabu Wanayasa
-          Digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watu Agung

13.   Rakeyan Watu Agung (942 – 954 M)
-          Bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
-          Dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuning Gading ‘Sang Limburkancana’

14.   Limburkancana (954 – 964 M)
-          Diteruskan oleh putra sulungnya, Rakeyan Sundasambawa

15.   Rakeyan Sundasambawa (964 – 973 M)
-          Naik tahta sunda menggantikan ayahnya
-          Bergelar Prabu Munding Ganawirya
-          Tidak berputra, kekuasaan jatuh ke adik iparnya, Rakeyan Wulung Gadung

16.   Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M)
-          Bergelar Prabu Jayagiri
-          Tahta diwariskan ke putranya, Rakeyan Gendang

17.   Rakeyan Gendang (989 – 1012 M)
-          Bergelar Prabu Brajawisesa
-          Digantikan oleh cucunya, Prabu Dewa Sanghiyang

18.   Prabu Dewa Sanghiyang (1012 – 1019 M)
-          Berputra Prabu Sanghiyang Ageung

19.   Prabu Sanghiyang Ageung (1019 – 1030 M)
-          Memerintah kerajaan Sunda yang berkedudukan di Galuh
-          Menikah dengan putri Sriwijaya yang masih kerabat dengan Raja Wurawuri, dan berputra Jayabhupati

20.   Sri Jayabhupati (1030 – 1042 M)
-          Bernama Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati
-          Menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa (mertua Erlangga)
-          Istrinya adalah adik Dewi Laksmi (istri Airlangga/1019 – 1042 M) yang kemudian menjadi Prameswarinya
-          Membuat prasasti Cibadak (Prasasti ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi)
-          Mendapat gelar ‘Dharmawangsa’ dari mertuanya dan dicantumkan dalam prasasti Cibadak
-          Meninggal th 1042 M

21.   Prabu Dharmaraja (1042 – 1065 M)
-          Naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Sri Jayabhupati
-          Bernama Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnu Murti Salaka Sunda Buana
-          Dipusarakan di desa Winduraja Kec. Kawali Kab. Ciamis, sehingga dikenal dengan nama Sang Mokteng Winduraja. Cicit dari raja ini ‘Prabu Dharmakusuma’ juga dipusarakan di sini
-          Ada angggapan bahwa sepeninggal Sri Jayabhupati, pusat pemerintahan Sunda bukan di pakuan tetapi di kawasan timur
-          Digantikan oleh menantunya ‘Prabu Langlang Bumi/Prabu Langlang Buana’

22.   Prabu Langlang Bumi / Prabu Langlang Buana (1065 – 1155 M)
-          Berputra Rakeyan Jayagiri

23.   Rakeyan Jayagiri (1155 – 1157 M)
-          Bergelar Prabu Menak Luhur
-          Tahta sunda diteruskan oleh putranya ‘Prabu Dharmakusuma’

24.   Prabu Dharmakusuma (1156 – 1175 M)
-          Pusat pemerintahan di Pakuan
-          Digantikan oleh putranya ‘Prabu Dharmasiksa’

25.   Prabu Dharmasiksa (1175 – 1297 M)
-          Pusat Pemerintahan di Pakuan
-          Disebut juga Resi Guru Dharmasiksa / Sanghiyang Wisnu
-          Dalam naskah Parahiyangan, Ia memerintah selama 150 th, sedangkan dlm naskah Wangsakerta tersebut angka 122 th (1097-1219 Saka / 1175-1297 M)
-          Naik tahta setelah Prabu Jayabaya penguasa Kediri meninggal (1135-1159 M)
-          Menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit th 1293 M
-          Digantikan oleh putranya ‘Rakeyan Saunggalah’

26.   Rakeyan Saunggalah (1297 – 1303 M)
-          Bergelar Prabu Raga Suci
-          Pusat Pemerintahan di Saunggalah Kuningan
-          Dipusarakan di Taman sehingga disebut Sang Mokteng Taman
-          Digantikan oleh putranya ‘Prabu Citra Ganda’

27.   Prabu Citra Ganda (1303 – 1311 M)
-          Pusat Pemerintahan di Pakuan
-          Dipusarakan di Tanjung, sehingga dikenal dengan Sang Mokteng Tanjung
-          Tahta diwariskan kepada putranya ‘Prabu Lingga Dewata’

28.   Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333 M)
-          Pusat Pemerintahan di Kawali
-          Tidak berputra, putrinya ‘Rimalestari’ menikah dengan Ajiguna Linggawisesa
-          Dipusarakan di Kikis, sehingga dinamakan Sang Mokteng Kikis

29.   Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333 – 1340 M)
-          Berkedudukan di Keraton Kawali
-          Beranak 3 : Prabu Ragamulya Luhur Prabawa ( Sang Aki Kolot) yang menggantikan tahtanya, Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon, dan ketiga Prabu Suryadewata yang menjadi Raja Galuh. Prabu Surya Dewata menurunkan raja-raja kerajaan Talaga dan meninggal di hutan raja/wanaraja saat berburu
-          Prabu Ajiguna Wisesa dimakamkan di Kiding, sehingga disebut Sang Mokteng Kiding

30.   Prabu Ragamulya Luhur Prabawa (1340 – 1350 M)
-          Karena meninggal di Taman, disebut dengan Salumah ing Taman
-          Kekuasaan sunda diwariskan kepada putranya ‘Prabu Maharaja Lingga Buana Wisesa’

31.   Prabu Lingga Buana Wisesa (1350 – 1357 M)
-          Gugur di medan perang dalam perang Bubat bersama putrinya ‘Dyah Pitaloka’ atau putri Citra Resmi
-          Karena putranya ‘Wastukancana’ masih berumur 9 th, kekuasaan digantikan oleh adiknya Patih Mangkubumi Suradipati yg dikenal dengan nama Prabu Bunisora
-          Karena meninggal di Bubat, Prabu Lingga Buawana Wisesa dikenal dengan Sang Mokteng Bubat

32.   Prabu Bunisora (1357 – 1371 M)
-          Berkedudukan sbg Patih Mangkubumi saat pemerintahan Prabu Linggabuana
-          Kekuasaan Sunda digantikan oleh Wastukancana

33.   Prabu Niskala Wastukancana (1371 -1382 M)
-          Disebut juga Prabu Anggalarang
-          Membagi wilayah sunda menjadi 2 kepada anaknya, sebelah barat (Pakuan) dan sebelah timur (Galuh)
-          Meninggal di Nusalarang shg disebut Sang Mokteng Nusalarang

34.   Prabu Susuk Tunggal (1382 – 1474 M)
-          Putra diri Wastukancana dan Rara Sarkati (Putri Penguasa Lampung)
-          Disebut juga Sang Haliwungan
-          Berkuasa di wilayah Parahiyangan bagian barat yg bertahta di Pakuan. Sedang Prabu Dewa Niskala saudara seayah lain ibu memerintah di Galuh (Parahiyangan timur)
-          Membangun pusat pemerintahan dan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati
-          Putrinya ‘Kentring Manik Mayang Sunda’ menikah dengan Jayadewata (putra Prabu Dewa Niskala, Raja Galuh)
-          Tahta Sunda digantikan oleh Jayadewata


PEMERINTAHAN PAJAJARAN


1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513).

Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. 

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). 

Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana, sebagai berikut:

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda.

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.

Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura/Sekitar Cirebon), memiliki 3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang. 

Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam, hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI (RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon. 

Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya, Subang Larang beragama islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran. 

Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan raja (penguasa) Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek, oleh karena itu ketegangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. 

Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kian Santang bersedih dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).

Kian Santang kembali ke istana Pajajaran, dan selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kian Santang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kian Santang menyerahkan tahta kerajaan kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal).

2. Surawisesa (1513 – 1535)

Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal). Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.

Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon. Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. 

Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela, wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. 

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya, beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan:

“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.”

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.

3. Ratu Dewata (1535 – 1534)

Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang ”vegetarian”.

Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan jasa Rakeyan Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 sebagai berikut (artinya saja):

"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)

“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”

 (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).

Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah).

4. Ratu Sakti (1543 – 1551)

Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali”.

Kemudian raja ini melakukan pelanggaran, yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.

5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)

Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan sudah tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

Prabu Nilakendra tidak perduli pada situasi ini, dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan pesta pora makanan enak, seperti diceritakan dalam Carita Parahyangan:

“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar”

(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Prabu Nilakendra juga tidak perduli untuk membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh.

Kondisi kerajaan yang tak menentu dan melihat penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa Banten ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau masih buyut dari Sri Baduga Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih kerajaan Pajajaran.Serangan Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).

Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh kesultanan Banten.

6. Raga Mulya (1567 – 1579)

Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Walaupun hanya menguasai wilayah kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat bertahan selama 12 tahun di wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya diserang kembali oleh kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.

Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):

“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.

Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :

“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .

(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi cikal bakal penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Naskah Banten memberitakan, bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.

Berakhirlah Pemerintahan Kerajaan Pajajaran (1482 – 1579) yang ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan (Kesultanan Banten) oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf.


KESULTANAN BANTEN (Pemerintahan Islam)

Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah (1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Banten :

1.   Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Hidayatullah Al-Misri (Sunan Gunung Jati/Jati Purba) (1513-1552). Beliau adalah Raja Kesultanan Cirebon yang melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah cucu Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, dari putrinya Nyai Ratu Rara Santang, setelah menikah dengan Raja Mesir Syarief Abdulah Al-Misri (Keturunan Rasulullah Nabi Muhammad SAW ke-22). Menikah dengan Kanjeng Gusti Ratu Pembayun (Putri tertua Maharaja Kesultanan Demak, Sultan Fatah/Putra tertua Raja Majapahit, Prabu BRAWIJAYA V). Wilayah kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.

2.   Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Maulana Hasanudin Al-Misri/Maulana Saba Kingking (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan dari Charuban (Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).

3.   Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Maulana Yusuf Al-Misri (1570-1580). Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.

4.   Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Syarief Maulana Muhammad Al-Misri (1580-1596) 

5.   Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Abul Mafachir Rachmatullah Al-Misri (1596-1640)

6.   Sri Baduga Baginda Maharaja Susuhunan Abul Ma’ali Achmad Rachmatullah Al-Misri/Kyai Ageng Tirtayasa (1640-1651)

7.   Sri Baduga Baginda Maharaja Kanjeng Sultan Agung Abul Tatghi Abdul Fatah Al-Misri/Sultan Wangi Ageng Tirtayasa (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda (VOC), dan  menolak perjanjian monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional.

8.   Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abun Nazar Abdul Kahar Al-Misri (1675-1687)

9.   Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abu Fadhl Moehammad Yahya (1687-1690)

10.  Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Zainul Abidin Al-Misri (1690-1733).

11.  Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abul Fatah Muhammad Syafei Zainul Arifin Al-Misri (1733-1747)

12.  Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abun Nasar Moehammad Zainul Asikin Al-Misri (1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger, Susuhunan Paku Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb, maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo.

13.   Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abul Mafachir Moehammad Aliuddin A-Misri (1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.

14.  Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Achmad Al-Misri (1802-1810-1811). Berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Surosowan Bantan. Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10 Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya.
Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Inggris, Thomas Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah segteru dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad, karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menagkap Sultan Achmad dan membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluara bangsawan De’Orange, sepupu keluarga Buckingham.
Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan  tinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
  
15.  Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abdulah A-Misri.  Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat 1860.

16.  Sri Baduga Baginda Maharaja Pangeran Gunawan Martakusumah Al-Misri.

17.  Sri Baduga Baginda Maharaja Pangeran Abdullah Halim Prawita Purnama Al-Misri.

18.  Sri Baduga Baginda Maharaja Sultan Abul Mafachir Muhammad Heruningrat Siliwangi Al-Misri. Wafat di Bogor 12 November 1989.

19.  Sri Baduga Baginda Maharaja Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harya Rachmatullah Heruningrat Siliwangi Al-Misri II. His imperial majesty Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Maharaja, majesty Kaiser Kanjeng Maha Pagusten, Emperor Sultan Agung Maha Prabu Syarief Abul Mafachir Muhammad Heruningrat Siliwangi Al-Misri II. Lahir di Jakarta 30 september 1963 (Legal Crown of The Monarchies of the Sovereign Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity.

Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.

-diambil dari artikel seorang blogger-

KARANG TARUNA

BENDERA KARANG TARUNA Bendera Karang Taruna adalah bendera resmi yang menjadi simbol dan perlambang utama organisasi Karang Taruna sebagai...