Pemahaman tentang ‘tujuh langit’
berkembang sesuai pemahaman manusia tentang alam semesta. Dalam kebudayaan
Eropa kuno, orang menganggap langit itu berlapis-lapis, dengan bumi sebagai
pusat alam semesta (geosentrik) :
1.
Bulan berada pada langit pertama
2.
Merkurius berada pada langit kedua
3.
Venus berada pada langit ketiga
4.
Matahari berada pada lagit keempat
5.
Mars berada pada langit kelima
6.
Jupiter berada pada langit keenam
7.
Saturnus berada pada langit ketujuh
Di luar langit tujuh itu ada
bintang-bintang lainnya. Dahulu, orang juga mengaitkan dengan astrologi atau
peramalan bintang, yaitu bahwa benda-beda langit (yang dikaitkan dengan
kepercayaan akan dewa penguasanya) mempengaruhi kehidupan di bumi, bergantian
dari jam ke jam dimulai dari yang terjauh.
1.
Hari pertama jam pertama dipengaruhi oleh
Saturnus, maka disebut hari Saturnus atau Saturday
Mungkin pula bukan sebagai suatu kebetulan bahwa
tanggal 1 Januari tahun 1 Masehi adalah hari Sabtu. Jam berikutnya yang
berkuasa adalah Jupiter, Mars, matahari, Venus, Merkurius, dan bulan. Demikian
seterusnya berurutan dalam 24 jam.
2.
Hari kedua jam pertama jatuh pada Matahari, maka
disebut hari Matahari (Sun) atau Sunday
3.
Hari ketiga jam pertama jatuh pada Bulan (Moon)
atau Monday
4.
Hari keempat jam pertama jatuh pada Mars (Tue)
atau Tuesday
5.
Hari kelima jam pertama jatuh pada Merkurius
(Wooden) atau Wednesday
6.
Hari keenam jam pertama jatuh pada Jupiter
(Thorn) atau Thursday
7.
Hari ketujuh jam pertama jatuh pada Venus
(Freya) atau Friday
Selanjutnya berkembang model
Ptolomeus yang menyatakan bahwa Merkurius dan venus mengelilingi Matahari,
tetapi selebihnya tetap dianggap mengelilingi bumi.
Model yang diusulkan Copernicus
berubah sama sekali dengan model heliosentrik, dengan Matahari sebagai pusat
alam semesta. Matahari dikelilingi oleh Merkurius, Venus, Bumi, Mars. Sedang di
luar Saturnus, kosep lama masih digunakan , bahwa di luar itu adalah tempatnya
bintang-bintang lainnya.
Tujuh langit pada kisah Isra Mikraj
Dalam konteks Ilmu Pengetahuan,
perjalanan Isra Mikraj yang dilakukan nabi
Muhammad dinilai sebagai perjalanan antar dimensi. Hal ini bermakna,
beliau telah diajak Djibril keluar dari dimensi ruang-waktu menuju dimensi yang
lebih tinggi. Untuk memahami perjalanan antarwaktu, kita ibaratkan ada alam dua
dimensi berbentuk bidang ‘U’ besar. Sebut saja makhluk di alam itu serupa
semut. Semut tersebut untuk berpindah dari ujung ‘U’ yang satu keujung yang
lain harus menempuh jarak yang jauh. Kita bisa dengan mudah mengangkat semut
tersebut dari satu ujung ke ujung lainnya, jaraknya jelas lebih pendek.
Demikianlah analogi sederhana perjalanan antardimensi, mekanismenya di luar
kemampuan sains, tetapi Allah telah memperjalankan hambanya (nabi Muhammad)
bersama Djibril yang memang berada di luar dimensi yang lebih tinggi dari
dimensi ruang-waktu. Logika seperti hanya untuk menunjukkan bahwa Isra Mikraj
dengan jasadnya (bukan sekedar Ruh) bukan hal yang mustahil.
Bersama Djibril, Nabi Muhammad
keluar dari dimensi ruang-waktu yang membatasi pola pikir manusia pada jarak
dan waktu. Sedangkan waktu dalam dimensi ruangwaktu tidak mungkin berjalan
mundur. Dengan keluar dimensi ruangwaktu, nabi Muhammad tidak lagi terikat oleh
jarak dan waktu. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dapat dilakukan sekejap,
sementara Nabi Muhammad masih bisa mengamati kafilah dalam perjalanannya dan
tetap bisa merasakan fenomena fisik dimensi ruangwaktu, seperti minum susu yang
ditawarkan Djibril. Nabi pun bisa berdialog dengan para Nabi lainnya karena
tidak ada lagi batasan waktu. Nabi pun mendapat gambaran surga dan neraka yang
juga bukan fenomena ruang-waktu kita, sehingga tidak mungkin dijelaskan secara
tepat dimana dan kapan adanya.
Langit pada kisah Isra Mikraj
bukan merupakan langit fisik seperti dalam Al Quran. Penyebutan langit pertama
sampai ketujuh pada kisah Isra Mikraj hanya ada dalam hadist. Informasi Nabi
ini menggambarkan perjalanan yang tidak lazim menurut kebiasaan manusia, tetapi
diyakini benar terjadi. Dimensi ruang-waktu tidak lagi membatasi perjalanan
beliau. Setelah Isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, Nabi mikraj ke
langit, langit pertama sampai ke tujuh. Nabi Muhammad bertemu para Nabi :
1.
Nabi Adam di langit pertama
2.
Nabi Isa dan Nabi Yahya di langit kedua
3.
Nabi Yusuf di langit ketiga
4.
Nabi Idris di langit keempat
5.
Nabi Harun di langit kelima
6.
Nabi Musa dilangit keenam
7.
Nabi Ibrahim di langit ketujuh
Jelas pertemuan dengan para Nabi
itu bukan di planet-planet lain di langit, karena para Nabi yang telah wafat
tidak berada di planet-planet tertentu.
Sidratul Muntaha pun bukan suatu
tempat dan saat yang keberadaannya dalam dimensi ruang-waktu. Keyakinan adanya
dimensi lain di alam juga didasari pada keyakinan akan adanya Jin dan Malaikat
yang berada di luar dimensi ruang-waktu. Dua jenis makhluk itu tidak dibatasi
ruang sehingga dengan mudahnya pergi kemanapun dan tidak dibatasi waktu. Kalau
mengikuti analogi makhluk di dimensi dua tersebut di atas, kita yang hidup di
ruang dimensi tiga bisa melihat tingkah laku makhluk serupa semut tersebut,
tetapi makhluk tersebut tidak mengetahui keberadaan kita karena di luar
dimensinya. Demikian juga manusia tidak mengetahui keberadaan Jin dan Malaikat,
walau kita tahu mereka ada di dalam alam mereka dan mampu mengetahui gerak
gerik kita.
Kisah Isra Mikraj tidak bisa
dianalisis dengan teori relativitas dengan anggapan Nabi Muhammad berjalan
dengan kecepatan cahaya bersama Buroq. Bila kita gunakan teori relativitas,
fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Menurut teori relativitas, pada
kerangka yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya yang tercatat
di jam menjadi lebih lambat. Artinya orang yang berjalan mendekati kecepatan
cahaya akan merasa lebih muda dan waktu yang dialaminya lebih singkat
dibandingkan dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karenanya kita mengenal
‘paradok anak kembar’ pada teori relativitas. Saudara kembar yang merantau
dengan kecepatan mendekati cahaya akan mendapati saudaranya yang ditinggalkan
lebih tua dari dirinya menurut rekaman waktu yang dibawanya. Yang dialami Nabi
justru kebalikannya, Nabi mengalami perjalanan waktu sangat panjang sehingga
bertemu dengan para Nabi dan berbagai peristiwa lainnya, sedangkan para sahabat
yang ditinggalkannya hanya merasakan waktu satu malam.
Logika sains untuk menggambarkan perjalanan Nabi
Muhammad sebagai perjalanan antar dimensi hanyalah upaya untuk menjelaskan
bahwa Isra Mikraj benar adanya dan dilakukan dengan fisik, bukan sekedar mimpi
atau perjalanan dengan ruh. Perjalanan antardimensi oleh manusia biasa memang
belum dimungkinkan secara eksperimen, tetapi konsep dimensi fisik yang lebih
dari sekedar dimensi ruang-waktu dikenal dalam sains. Sains dapat membantu
memperkuat akidah tanpa harus mereka-reka dalam cerita pseudosains (sains semu,
karena tidak didasarkan sains yang benar).