Menurut sejarah Cirebon yang disusun oleh P. S. Sulendraningrat,
diriwayatkan sebagai berikut :
Pada Abad 14 Masehi, Sayid Jamaludin Al Husein, seorang keluarga dekat
Sultan Sulaeman dari kerajaan Islam Irak yang berkedudukan di Baghdad,
mempunyai tiga orang anak :
1. Ali Nurul Alim;
2. Barkat Zaenal Alim;
3. Ibrahim Zaenal Akhbar.
Ketiganya setelah cukup cakap dalam ilmu agama Islam, merantau untuk
berdakwah sebagai misi-misi Islam dari Kerajaan Irak (Baghdad) dalam rangka
penyebaran Agama Islam diluar Kerajaan Irak.
Ali Nurul Alim ke Kerajaan Mesir dan menetap di Kairo sampai dapat
menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan Kerajaan Mesir, beliau mempunyai
seorang Putra bernama Syarif Abdullah, setelah dewasa Syarif Abdullah menikah
dengan Putri Mahkota Mesir. Ayah dari Putri Mahkota Mesir meninggal dunia,
kemudian Putri Mahkota dinobatkan sebagai Sultan Mesir, sedangkan suaminya
Syarif Abdullah diberi gelar “Sulthon” dengan nama Sulthon Makhmud Syarif
Abdullah.
Tak lama kemudian sultan Mesir Istri dari Sulthon Makhmud Syarif Abdullah
meninggal dunia, maka selanjutnya Negara Mesir dipercayakan kepada Sulthon
Makhmud Syarif Abdullah untuk meneruskan memimpin Pemerintahan Mesir.
Sulthon Makhmud Syarif Abdullah kemudian menikah untuk kedua kalinya
dengan Ratu Mas Rara Santang seorang saudara muda kandung Pangeran Cakrabuana
Putra Mahkota Kerajaan Padjajaran, dari pernikahan ini dikaruniai dua orang
Putra ialah : Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah (adik).
Barkat Zaenal Alim melalui darat datang ke Gujarat, sedangkan Ibrahim
Zaenal Akhbar datang ke Cempa / Kamboja, masing-masing ditempat kedatangannya
beliau-beliau itu menetap menjadi warga Negara.
Adapun Barkat Zaenal Alim mempunyai seorang cucu bernama Maulana Makhdar
Ibrahim yang setelah dewasa dan cukup cakap dalam Ilmu Agama Islamnya, merantau
dan berdakwah dan sampailah di Basem Pasai / Aceh, disana beliau menikah dengan
Putri Mahkota Aceh, setelah Ayahanda Putri Mahkota Aceh itu wafat, kemudian
Putri Mahkota itu menjadi Sultan di Aceh. Memerintah bersama suaminya yang
diberi gelar Sulthon Huda. Sulthon Huda ini mempunyai dua orang anak ialah yang
Putra bernama Fadhillah Khan dan yang Putri bernama Ratu Gandasari.
Portugis pada tahun 1511 M merebut Kerajaan dan Kesultanan-Kesultanan
Malaka, kemudian pada tahun 1521 M Portugis merebut dan menguasai Pasai / Aceh
setelah mendapatkan perlawanan dari Pemuda dan Tentara Aceh keluarga Sulthon
Huda, termasuk Fadhillah Khan mengungsi ke Mekkah dan Bagdad disamping
menunaikan Ibadah Haji juga mendalami Ilmu Agama Islamnya, disamping meminta
bantuan untuk memerangi / mengusir orang Portugis dari Aceh.
Oleh penguasa Mekkah dan Baghdad pada waktu itu, Fadhillah Khan
dianjurkan untuk datang ke Pulau Jawa, oleh karena di Pulau Jawa sudah ada dua
Negara Besar yang beragama Islam ialah CIREBON dan DEMAK yang sedang
giat-giatnya menyebarkan Agama Islam. Sesuai anjuran itulah Fadhillah Khan
kemudian datang ke Demak untuk memperkuat barisan misi Islam di Demak. Demak
saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono, Fadhillah Khan kemudian menikah dengan
salah seorang adik perempuan Sultan Trenggono yang bernama Ratu Pulung,
Fadhillah Khan dengan bermodalkan Ilmu Agama yang tinggi dan cakap dalam bidang
strategi perang, maka oleh Sultan Trenggono diangkat sebagai Senopati atau
Jenderal Pertama Tentara Demak. Demak ingin mengusir Portugis dari Sunda
Kelapa, kala itu Portugis di Sunda Kelapa mempunyai hubungan baik dalam
perdagangannya dengan Pajajaran dan Kerajaan Pucuk Umun di Banten.
Strategi Kesultanan Demak, untuk merebut Sunda Kelapa dari tangan
Portugis, maka Banten harus dikuasai lebih dahulu. Dari strategi itu maka
Sultan Demak memerintahkan Fadhillah Khan (Faletehan) dengan membawa pasukan
menuju Banten. Sebelum ke Banten, harus mampir ke Cirebon menemui Sunan Syarif
Hidayatullah, karena Cirebon mempunyai kepentingan terhadap Banten, dimana
Syarif Hidayatullah mempunyai istri seorang Putri Banten Nyi Mas Kawunganten
dan mempunyai seorang Putra bernama Sebakingkin (nama kecil) setelah besar
dinamai Maulana Hasanudin. Oleh Sunan Syarif Hidayatullah pasukan dari Demak
ditambah dari pasukan Cirebon dibawah pimpinan Fadhillah Khan (Faletehan)
berangkat menuju Banten.
Pada tahun 1526 M di Banten pasukan Demak dan pasukan Cirebon ditambah
pasukan dari Kawunganten dibawah Maulana Hasanudin secara bersama-sama
menggempur Kerajaan Pucuk Umun di Banten Girang. Setelah Banten dikuasai, maka
Maulana Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan pertama di Banten oleh Sultan
Syarif Hidayatullah. Setelah Banten diserahkan kepada Sultan Maulana Hasanudin,
maka Fadhillah Khan dengan pasukannya kembali ke Cirebon, kemudian menikah dengan
Ratu Ayu (seorang janda dari Alm. Sultan Demak II) seorang Putri dari Sunan
Syarif Hidayatullah.
Pada tahun 1527 M Fadhillah Khan, Pangeran Cirebon, Dipati Suraneggala,
Dipati Cangkuang ditambah pasukan dari Banten, pasukan gabungan ini menggempur
Sunda Kelapa yang merupakan bawahan Pakuan Pajajaran yang diduduki oleh
Portugis, setelah Sunda Kelapa dikuasai, maka Fadhillah Khan diangkat menjadi
Bupati Sunda Kelapa yang kemudian menjadi JAYAKARTA dan terakhir kita kenal
sebagai JAKARTA.
Fadhillah Khan oleh orang Portugis dilisankan
menurut lidah Portugis menjadi “ FALETEHAN “.