Sunday, February 19, 2023

BABAD ONJE DAN LAHIRNYA KABUPATEN PURBALINGGA

 *copy paste dari igosaputra.com


Suatu hari di tengah hutan belantara bernama Hutan Pengalasan Kulon yang ada di sebelah tenggara Gunung Slamet ada seorang petualang bernama Ki Tepus Rumput tengah khusyuk bersemedi. Ia duduk bersila diatas sebuah batu ceper yang membentuk sebuah altar, di bawah pohon besar nan rindang. Matanya terpejam, diam. 

Rambut di kepalanya sudah panjang tak terurus, kumis dan jambangnya awut-awutan. Tubuhnya kurus kering, pipinya cekung, pertanda sudah berhari-hari Ia menjalani semedi tanpa makan dan minum. 

Petualang sebatangkara itu adalah murid Syech Subakir. Ia ditugaskan bersama istrinya untuk membuka hutan di wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai pemukiman untuk ditempati bersama keturunannya. Malang tak dapat ditolak, belum sampai tugasnya usai, istrinya meninggal. 

Ki Tepus Rumput pun sendirian meratapi nasib malangnya. Ia kemudian menghabiskan waktunya dengan menenggelamkan diri dalam laku tapa brata. 

Sampai pada suatu malam, ditengah semedinya, Ia didatangi sesosok manusia berjanggut panjang dan berjubah putih. Sosok tersebut mengaku sebagai leluhurnya dan bernama Ki Kantharaga. Ia lalu menasehati agar Ki Tepus menghapus kesedihannya, Ki Tepus disarankan Ki Kantha untuk ‘move on’. 

Menurut Ki Kantha, Ia bisa memiliki istri kembali asal menemukan sebuah cincin bernama ‘Soca Ludira’. Ki Kantha juga memberikan ‘clue’ bahwa cincin tersebut berada di dekat sebuah pohon jati berbau wangi. Ki Kantharaga berpesan, bila cincin telah ditemukan agar segera diserahkan kepada Sultan Hadiwijaya di Keraton Kasultanan Pajang. 

(Dalam Bahasa Jawa Kuno, ‘Soca’ berarti ‘Mata’ dan ‘Ludira’ adalah ‘Darah’) 

Ki Tepus terjaga dari tapa brata. Otaknya dipenuhi kebingungan dan keheranan atas pertemuan ghaibnya dengan Ki Kantharaga. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu-batu yang terdapat di sekitar tempatnya bersemedi. Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi dengan menggunakan kapur sirih. 

(Tempat dimana batu-batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal dengan Dusun Bata Putih yang saat ini ada di wilayah Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet) 

Untuk menenangkan diri dan mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai cincin Soca Ludira, Ki Tepus Rumput kemudian melanjutkan semedinya. Ia baru terjaga mendengar kokok ayam jantan dan melihat pelangi berpendar di langit yang cerah. Kemudian, Ia mendekati sumber suara itu dan bertemu dengan sosok pertapa bernama Ki Onje Bukut. Di sekitar tempat pertemuannya banyak ditemukan bunga burus alias onje sehingga daerah tersebut dinamakan Trukah Onje. 

Kepada Ki Onje, Ki Tepus menceritakan pertemuan gaibnya dengan Ki Kantharaga dan pesan-pesan yang disampaikannya. Ki Onje kemudian menyarankan agar Ki Tepus mencari ‘Jati Wangi’ di Gunung Tukung yang terletak di sebelah timur Gunung Slamet. 

Ki Tepus menuruti saran Ki Onje dan pergi ke Gunung Tukung. Ia menemukan sebuah pohon jati yang secara ajaib mengeluarkan aroma harum disekitarnya. Tepat di bawah pohon jati berbau wangi, Ia kemudian bersemedi. Setelah sekian lama bersemedi, Ia melihat cahaya merah berkilauan kemudian jatuh tepat ditengah kakinya yang tengah bersila. 

Ki Tepus lalu terjaga dan betapa terkejutnya sebuah cincin tergeletak di hadapannya. Ia kemudian menyadari, cincin itulah yang dimaksud Ki Kantharaga sebagai Cincin Soca Ludira. Sesuai pesan Ki Kantharaga, Ki Tepus kemudian berkemas dan mengantarkan cincin sakti itu ke pusat Kesultanan Pajang. 


Sayembara Cincin Soca Ludira dan Berdirinya Kadipaten Onje

Sebelumnya, Keraton Pajang tengah dilanda geger. Cincin kesayangan Sang Sultan hilang tak tahu rimbanya. Sultan Hadiwijaya yang pada masa mudanya dikenal sebagai Jaka Tingkir dan memiliki nama kecil Mas Karebet itu kemudian mengadakan sayembara. Barangsiapa menemukan Cincin Soca Ludira, jika perempuan akan diangkat sebagai selir, jika laki-laki akan diberikan selirnya yang paling cantik. 

Tidak dinyana tak diduga, cincin ini ternyata ditemukan oleh seorang yang jauh-jauh datang dari tenggara Gunung Slamet, Ki Tepus Rumput. Perkataan Sultan adalah Sabda Pandita Ratu, tak kena wola wali. Sultan Pajang pun memenuhi janjinya. Ki Tepus Rumput dianugerahi seorang selirnya yang paling cantik. Ia merupakan Putri Adipati Menoreh. 

Tak hanya itu, Ki Tepus Rumput diberi pula jabatan adipati untuk daerah dimana Ia bersemedi seluas 200 grumbul / kampung. Ia kemudian diberi gelar Ki Ageng Ore-ore atau Raden Ore-Ore.

Namun, pemberian selir ini juga disertai janji-janji agar Ki Tepus Rumput yang sekarang sudah bergelar bangsawan Raden Ore-Ore jangan dulu menggaulinya. Sebab, selir Jaka Tingkir tersebut sedang keadaan mengandung empat setengah bulan. Ki Tepus baru boleh menggaulinya setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan.

 /ingsun ora wani-wani sapa kang anemokaken manira paringi bojoningsun bocah desa asal putrane Kiyai Dipati Menoreh iya rawatana ananging iya wus meteng olih kapat tengah iya iku poma-poma aja kowe tumpangi, inggih sakelangkung saking panuwun kula lan sira manira paringi bumi karya rongatus mardika lan sira manira sengkakaken ing luhur sinebut Kiyai Ageng Ore-ore, nunten lajeng mantuk dhateng dhusun Teruka ing Onje, sareng dugi ing mangsa zhohir ingkang putra miyos kakung lajeng ngunjuki uninga dhateng/ - Babad Onje -

Setelah penganugerahan selir dan gelar adipati, Raden Ore-ore kemudian undur diri untuk kembali ke tempat asalnya. Sang Sultan memberikan pengawalan prajurit Pajang yang dipimpin oleh empat orang perwira bernama Puspa Jaga, Puspa Raga, Puspa Kantha dan Puspa Dipa.

Setelah sampai di daerah hutan dekat tempat semedinya, rombongan Raden Ore-ore dihadang rombongan begal yang dipimpin bekas pengikut Harya Penangsang bernama Putera Jala. Ia bermaksud merampas puteri selir yang dibawa rombongan tersebut. Namun, empat serangkai Puspa berhasil mengalahkan Putera Jala dan mereka bisa melanjutkan perjalanan. Akhirnya, sampailah mereka di Trukah Onje dengan selamat.

Raden Ore-ore dibantu dengan Pasukan Pajang dan abdi dalem yang diberikan Sultan Pajang kemudian mengembangkan wilayah tersebut menjadi sebuah kadipaten. Tak lama kemudian, wilayah tersebut berkembang pesat dan di beri nama Kadipaten Onje. Ada salah satu grumbul / dusun di Kadipaten Onje diberi nama ‘Surti’ yang berasal dari perkataan ‘sur puteri’ atau ‘lungsuran puteri’. Hal itu merujuk bahwa Nyai Ore-Ore merupakan lungsuran atau bekas selir Sultan Pajang.

Tak lama kemudian Nyai Ore-ore melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi ini lalu dibawa ke Pajang dan oleh Sultan Hadiwijaya yang tak lain ayah kandungnya diberi nama Raden Anyakrapati. Sultan berpesan agar kelak, Raden Anyakrapati yang menggantikan Raden Ore-Ore menjadi adipati di Kadipaten Onje. Raden Ore-ore juga mendapatkan tambahan wilayah kekuasaan 835 grumbul dan 7 keluarga kepala desa untuk mengabdi di Kadipaten Onje.

 /Sareng sampun dugi ing mangsa nunten kasaosaken melebu. Pangandikane Kanjeng Sultan, ”ingsun derma bae, iya sira kang anduweni anak. Iki dadi wewinih ana ing desa, lan manira paringi bumi karya wolungatus tigang lawe, sarta katandha upacaraning bupati, lan keparingan nama Kiyai Dipati Anyakrapati ing Onje, lan manira gawani sentana kamisepuh pitung somah dadia emban-embane aning desa Onje. Ana dene ratune Pandhomasan Timbang, Purbasari satus, Bobotsari Kertanegari satus, Kadipaten satus, Kontawijayan satus, Bodhas Mertasanan Mertamenggalan satus, Toyareka satus kawan desa, Selanga Kalikajar pitung desa, Onje kalihatus/ - Babad Onje –

Setelah dewasa dan dipandang mampu memegang tampuk pimpinan Raden Ore-ore memenuhi janjinya dan menyerahkan jabatan Adipati Onje kepada anak tirinya. Raden Anyakrapati pun menjabat sebagai Adipaten Onje II. Akhirnya, anak kandung Jaka Tingkir itu pun menjadi Adipati Onje. Sementara, Raden Ore-ore alias Ki Tepus Rumput memilih untuk berkelana kembali.


Tragedi Dua Puteri

Adipati Onje II memiliki dua orang istri. Pertama, Rara Kelingwati, puteri dari Kadipaten Pasir Luhur yang berada di Tanah Pasundan. Selain itu, Ia juga mempersunting seorang puteri dari Adipati Cipaku bernama Rara Pakuwati atau dipanggil juga Dewi Medang. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah di Kadipaten Onje.

Adipati Onje tidak mendapatkan keturunan dari Puteri Keling. Sedangkan dengan Rara Pakuwati, Ia menurunkan dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Raden Mangunjaya atau Raden Mangunegoro, Raden Citrakesuma dan yang paling bungsu adalah Rara Banowati.

Raden Mangunegara namanya diabadikan menjadi sebuah desa yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Mrebet. Rara Banowati kawin dengan seorang Arab bernama Sayid Abdullah yang kemudian diserahi jabatan penghulu merangkap Imam Masjid Onje. Sayid Abdulah inilah kemudian yang dikenal dengan nama Raden Sayid Kuning yang sekarang diabadikan menjadi nama masjid tertua di Desa Onje.

Ada kisah memilukan tentang dua istri Adipati Onje II ini. Suatu hari, saat Sang Adipati sedang nyenyak tidur, tiba-tiba dibangunkan oleh suara jeritan dua orang wanita. Adipati kemudian beranjak ke belakang rumah dan melihat kedua orang istrinya tengah bertengkar hebat. Pertengkaran keduanya tak bisa dilerai dan semakin menjadi.

Akhirnya, Sang Adipati hilang kesabaran dan gelap mata, diambilnya sebuah pedang dan dengan pedang itu, kedua istrinya dibabat silih berganti sehingga mereka meninggal dunia. Peristiwa memilukan ini tentu saja terdengar Adipati Cipaku, mertuanya, sehingga murka luar biasa. Adipati Cipaku kemudian mengeluarkan larangan bagi anak turunannya agar tidak menikah dengan orang-orang Onje.

Setelah peristiwa tragis terbunuhnya dua istri ditangannya sendiri, Adipati Onje II Raden Anyakraprati tak lama menduda. Ia kemudian kawin lagi dengan puteri dari Arenan bernama Nyai Pingen. Perkawinan mereka menurunkan dua orang anak laki-laki bernama Ki Wangsantaka atau juga dikenal dengan Ki Yudantaka, dan Ki Arsakusuma yang ketika dewasa dikenal dengan Ki Arsantaka. Ki Arsantakalah inilah yang kemudian akan mengawali Kadipaten Purbalingga.

Kedua kakak beradik ini memiliki sifat yang cukup berseberangan. Sementara Ki Yudantaka lebih suka bertani, adiknya lebih suka berpetualang. Namun, keduanya sama-sama tidak kerasan tinggal di Onje dengan saudara-saudara tirinya. Ki Yudantaka kemudian menekuni kegemaranya bertani, pindah ke Kedungwringin dan akhirnya meninggal disana. (Saat ini, Kedungwringin termasuk dalam wilayah Desa Karangjambe yang ada di Kecamatan Padamara, Purbalingga).

Sebaliknya Ki Arsantaka yang gemar mengembara, mengikuti jejak kakek angkatnya Ki Tepus Rumput, kemudian memilih meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Sampailah Ia di Desa Masaran dan diangkat sebagai anak oleh sesepuh Masaran bernama Ki Rindik atau Ki Wanakusuma yang merupakan keturunan Ki Ageng Giring dari Mataram. Sekira tahun 1740-1760, Ki Asantaka mejabat Demang Pagendolan. (Sekarang termasuk Desa Masaran, ada di Kecamatan Bawang, Banjarnegara).

Ki Arsantaka mempunyai dua isteri. Pertama, Nyai Merden yang merupakan keturunan Raden Wargautama II alias Joko Kaiman, menantu Adipati Wirasaba yang mendirikan Kabupaten Banyumas (Baca : Tragedi Adipati Wirasaba). Disinilah ada kaitan antara keturunan Onje dan Wirasaba. Istri kedua adalah Nyai Kedunglumbu. Pada perkawinannya dengan Nyai Merden, Arsantaka memiliki lima orang anak, yaitu Ki Arsamenggala, Ki Dipayuda Gabug, Ki Arsayuda, Ki Ranumenggala dan Nyai Pancaprana. Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya.

Semasa Arsantaka menjabat Demang Pagendolan, wilayahnya dibawah kekuasaan pemerintahan Karanglewas yang dipimpin seorang ngabehi bernama Tumenggung Dipayuda I. Sementara Karanglewas merupakan wilayah bawahan Banyumas yang waktu itu dipimpin Tumenggung Yudanegara III (1730-1749). Tumenggung Dipayuda I dan Tumenggung Yudanegara III adalah kakak beradik, sama-sama putera Tumenggung Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728. Sementara, Kadipaten Banyumas merupakan wilayah Mancanegara Kilen yang masuk wilayah kekuasaan Kesultanan Surakarta yang saat itu dipimpin oleh Paku Buwana III.

Saat itu, tahun 1749, terjadilah perseteruan antara Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi yang melahirkan Perang Mangkubumen. Kadipaten Banyumas memihak kepada Pakubowono III dan mereka mengirimkan pasukan yang dipimpin langsung Adipati Banyumas, Tumenggung Yudanegara III. Perwira pasukan Banyumas ada Ngabehi Karanglewas Dipayuda I, Demang Pagendolan Ki Arsantaka, Demang Sigaluh Ki Mertoboyo dan Demang Penggalang Ki Ronodipuro. Pasukan Pakubowono juga didukung pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor De Clerk dan Kapitain Hoetje.

Pada sebuah peristiwa Perang Mangkubumen yang terjadi di Desa Jenar (Bagelen), Pasukan Pakubuwono III terdesak dan dikepung Pasukan Mangkubumi yang mengantarkan Mayor De Clerk dan Kapiten Hoetje tewas. Pertempuran jenar juga trut mengantarkan Dipayuda I menghembuskan nafas terakhir. Jasadnya sempat hilang. Ki Arsantaka lah yang kemudian mencari dan menemukannya, konon masih lengkap dengan seragam kompeni berwarna ungu. Jenazah Dipayuda I dibawa ke Kadipaten Banyumas karena keluarga besarnya berasal dari sana. Sebab meninggal dalam pertempuran di Jenar, diberi julukan Ngabehi Seda Jenar. Dipayuda I dikebumikan  di Astana Redi Bendungan, Desa Dawuhan, Banyumas.

Kemudian, kedudukan Dipayuda I sebagai Ngabehi Karanglewas digantikan putera dari Yudanegara III yang kemudian disebut dengan Dipayuda II. Sebagai rasa terima kasih atas jasa Ki Arsantaka dalam Perang Mangkubumen dan menyelamatkan jenazah puteranya, Yudanegara III mengambil salah satu putera Ki Arsantaka, yaitu, Ki Arsayuda sebagai menantu. Selain itu, Ki Arsayuda juga diberi anugerah, diangkat menjadi Patih Karanglewas. 

Tumenggung Dipayuda II tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas, hanya sekitar tiga tahun, 1755-1758. Ia sakit-sakitan dan meninggal dengan sebutan Nagabehi Seda Benda. Jabatannya sebagai Ngabehi Karanglewas kemudian dilimpahkan pada patihnya, Ki Arsayuda yang kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III.

Atas petunjuk dan bimbingan Kiai Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di  Karanglewas dipindahkan ke sebuah wilayah yang dianggap lebih subur dan strategis bernama Purbalingga. Sejak saat itulah, Purbalingga lepas dari Banyumas, menjadi kadipaten yang tersendiri dibawah Kasultanan Surakarta. Menurut catatan Kantor Kesantanan Sidikoro, Baluwerti, Keraton Surakarta pada hari Senin Legi 26 Selo tahun Ehe 1684 (tahun jawa) atau 23 Juli 1759 dibangunlah alun-alun dan rumah kadipaten serta segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan.

Dengan demikian, lahirlah Purbalingga dengan adipati / bupati pertama adalah Ki Arsayuda, putera Ki Arsantaka dari Kadipaten Onje dengan Nyai Merden yang merupakan anak Adipati Wargautama II (Adipati Mrapat) dari Kadipaten Wirasaba. Ki Arsayuda tak lain adalah cucu dari Adipati Onje II, buyut dari Sultan Pajang Hadiwijaya alias Jaka Tingkir yang diberikan kepada Ki Tepus Rumput.

Ki Arsayuda kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III, memerintah tahun 1759-1787. Pada perkawinan dengan puteri Yudanegara III, Ia dikaruniai dua orang anak, yaitu  Nyai Citrawangsa dan Masajeng Trunawijaya. Dipayuda III menikah lagi dengan dengan Nyai Tegal Pingen (puteri Ki Singayuda yang juga cucu Pangeran Makhdum Wali Perkasa dari Pekiringan, Karangmoncol). Dari perkawinan ini, Dipayuda III menurunkan 5 orang anak, yaitu, Dipakusuma I yang meneruskan jabatan ayahnya menjadi Bupati Purbalingga kedua (1792-1811), Raden Dipawikrama (menjadi Ngabehi Dayeuhluhur), Raden Kertosono (menjadi Patih Purbalingga), Raden Nganten Mertakusuma Kemranggon dan Kiai Kertadikrama yang menjadi Demang Purbalingga.

Dipakusuma I kemudian digantikan anak sulungnya Danakusuma yang kemudian bergelar Raden Mas Tumenggung Bratasudira sebagai bupati ketiga yang memerintah tahun 1811-1831. Danakusuma merupakan putera Dipakusuma I dengan Raden Ayu Angger, puteri Pangeran Prabu Aria Amijaya yang merupakan cucu Mangkunegara I. RMT Bratasudira digantikan anaknya RMT Adipati Dipakusuma II sebagai bupati keempat (1831-1855) yang merupakan puteranya dengan Mbok Mas Widata dari Kawong.

RT Dipakusuma II kemudian digantikan anaknya R. Adipati Dipakusuma III sebagai bupati kelima (1855-1868), puteranya dengan istri kedua Raden Ayu Karangsari, puteri RT Citrasuma, Bupati Jepara. R. Adipati Dipakusuma III kemudian digantikan R Adipati Dipakusuma IV sebagai bupati keenam (1868-1883) yang merupakan putera Dipakusuma II dengan istri ke 3 nya yang bernama Raden Ayu Brobot.

Bupati ketujuh adalah RT Dipakusuma V 1883-1893 yang menggantikan ayahnya Dipakusuma IV. Ia merupakan anak Dipakusuma IV dengan istrinya yang bernama Raden Ayu Dipa Atmaja. Berikutnya. Tampuk kekuasaan Bupati ke 8 adalah Raden Brotodimejo 1883-1899 yang sebelumnya menjadi Patih Purbalingga. Brotodimejo digantikan RT Adipati Dipakusuma VI 1899-1925 yang merupakan adik Dipakusuma V. Lalu, Ia digantikan K.R.A.A Soegondo 1925-1946, putera Dipakusuma IV yang juga menantu dari Pakubuwono X. Setelah era Soegondo terjadi kekosongan kekuasaan karena terjadinya revolusi kemerdekaan sampai kemudian pemilihan bupati dipilih oleh DPRD setelah Republik Indonesia berdiri.

KARANG TARUNA

BENDERA KARANG TARUNA Bendera Karang Taruna adalah bendera resmi yang menjadi simbol dan perlambang utama organisasi Karang Taruna sebagai...