Wednesday, July 3, 2019

SANGKAN PARANING DUMADI ( Telaah Alur Spiritualisme Jawa )


*diambil dari artikel seorang sejarawan dan pemerhati budaya
-------------------------------
-------------------------------

BAGIAN 1


Sesaji dan slametan adalah sarana untuk berinteraksi dengan makhluk yang tidak kasat mata (gaib) dengan tujuan sama-sama berbakti kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi. Wujud upacara slametan mungkin berbeda-beda dari desa yang satu dengan desa yang lainnya. Hal itu terkait dengan kemakmuran dan luas atau sempitnyaa wilayah desa maupun kabuyutan masing-masing. Ada yang cukup ber-slametan berupa sesaji sederhana di tempat-tempat yang dianggap dihuni oleh makhluk gaib. Ada juga yang disertai upacara yang memerlukan medium atau perantara antara manusia dengan para makhluk gaib yang menghuni suatu desa. Dukun, penari tayub atau ronggeng dan dalang menjadi medium terlebih dahulu. Artinya, makhluk gaib di desa tersebut dalam memberi jawaban ajakan pergaulan warga manusia melalui medium tersebut. Banyak juga medium yang berasal dari Ki Buyut desa itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan upacara daur hidup, laku budaya slametan juga dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi, upacara pengantin, dan untuk ngrukti layon. Sajen bahkan juga turut disertakan dalam selametan memulai diri pribadi yang dilaksanakan setahun sekali pada hari kelahiran atau pada weton berdasar hitungan penanggalan Jawa. Ada beberapa pilihan dan alternatif uborampe , di antaranya berupa:
  1. Sega biru atau nasi biru dengan lauk kerbau satu
  2. Tumpeng megana di dalamnya diisi daging ayam putih mulus dan pada bagian luar diberi gudangan manca warna
  3. Nasi kuning dengan lauk kerbau satu yang digoreng
  4. Nasi gurih dengan bumbu rempah-rempah dari telur ayam dimasak menggunakan kuali yang mash baru dan tempat memasaknya di tengah halaman dengan menggunakan kayu pelupuh. Ketika menyalakan api, wajib menggunakan merang. Uborampe  ini disertai dengan sayur 7 macam.
  5. Nasi lemak lauk ayam putih mulus
  6. Tumpeng lauk sayur dedaunan 7 macam tanpa bumbu atau tanpa rasa (anyepan)
  7. Nasi kebuli
  8. Kupat Luwar 70 buah disertai lauk berupa kerbau satu dijadikan 70 bagian
  9. Sego golong, pecel ayam, jangan menir dan masakan melukut
  10. Jenang abang, jenang cocor, jenang lemu, jenang lowok, jenang sumsum, jenang bening, jenang katul, jenang lahan, bubur jagung, abon, dan panjang
  11. Srabi abang putih, bikang abang putih, pasun abang putih, tumpi, sawutan, klepon, apem, pala, kembang pai, paksawutan angin, utri, brondong, kelapa wutuh, gedang mas 2 tangkep, tebu wulung 4 batang, cempaka 40 pasang.
Slametan dan Gerbang Kelahiran Anak Manusia

Selamatan juga dilakukan pada masa kehamilan, dengan harapan memperoleh keselamatan hidup pada masa kehamilan. Hal ini dilakukan dengan mengadakan selamatan sesuai dengan usia bayi yang dikandung oleh seorang calon ibu. Adapun selamatan tersebut meliputi :
  1. Kehamilan satu bulan dengan sesaji berupa bubur sungsum yang dicampur dengan santan yang diberi gula jawa.
  2. Kehamilan dua bulan dan tiga bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng, gudhangan dan berbagai macam sambal. Adapun lauknya berupa sebutir telur yang dibelah menjadi lima bagian. Sesaji yang berupa jenang meliputi jenang merah, jenang merah puti, dan jenang bar-baro. Selain itu dilengkapi pula dengan jajan pasar dan empon-empon.
  3. Kehamilan empat bulan disebut ngupati. Sesajinya berupa nasi kuning dengan lauk daging kerbau semua bagian tetapi hanya sedikit saja. Perlengkapannya berupa ketupat sinta, jago, sido lungguh, dan luar.
  4. Kehamilan lima bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng dari nasi punar, nasi putih dan nasi asahan, enten-enten dan uler-uleran.
  5. Kehamilan tujuh bulan disebut tingkeban dan mitoni. Upacara tujuh bulan dalam masyarakat Jawa paling sering dilakukan di kalangan masyarakat jawa dibandingkan uacara kehamilan lainnya.
  6. Kehamilan bulan kesembilan dengan sesaji berupa jenang procot. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar bayi yang ada dalam kandungan dapat lahir dengan mudah tanpa halangan apapun. Jenang procot ialah jenang yang dibuat dari tepung beras yang diberi cairan gula kelapa dan pisang raja.
Adapun ketika bayi dilahirkan, maka dalam adat Jawa juga banyak diselenggarakan upacara-upacara adat untuk menyambut kelahiran si jabang bayi, antara lain :
  • Upacara Brokohan. Selamatan ini dilaksanakan pertama kali ketika bayi lahir dan dilaksanakan dengan tujuan memberitahukan kepada warga sekitar bahwa telah lahir seorang bayi dengan selamat. Tata cara pelaksanaan brokohan sama dengan mengadakan selamatan biasa. Adapun sesaji yang harus dipersiapkan yaitu sega asahan, daging kerbau siji artinya semua bagian badan kerbau sedikit-sedikit, pecel ayam, jangan menir, dan gudhangan.
  • Upacara Sepasar atau Puputan. Sepasar merupakan satuan waktu bagi masyarakat Jawa dengan kurun waktu lima hari. Upacara sepasaran biasanya dilakukan bersamaan dengan puputan. Puputan merupakan peristiwa putusnya tali pusat bayi. Hal ini terjadi biasanya setelah bayi berumur lima hari sehingga kemudian pelaksanaannya dilaksanakan bersamaan dengan sepasaran. Namun jika bayi setelah sepasar belum puput maka pelaksanaan sepasaran bisa lebih dahulu atau dilakukan dengan menunggu uputan, tergntung kebijakan orang tua si bayi. Selamatan sepasaran atau puputan menggunakan sesaji makanan antara lain berupa nasi tumpeng dan golong yang dilengkapi denga lauk pauk yang terdiri atas panggang ayam, gudhangan, dan telur rebus; jajan pasar; dan jenang putih, merah putih, dan baro-baro. Pada pagi harinya setelah malam sepasaran diadakan bancakan. Bancakan merupakan kenduri kecil yang dibagikan untuk anak-anak. Adapun makanan tersebut berupa nasi tumpeng, gudhangan, dan telur rebus.
  •  Selapanan. Upacara selamatan selapanan diadakan setelah bayi berumur 35 hari, dengan sajiannya berupa nasi tumpeng, gudhangan, telur rebus, jenang merah, putih, merah putih, palang dan baro-baro, jajan pasar, dan inthuk-inthuk yakn tumpeng kecil yang ditaruh di dalam tempurung kelapa (bathok bolu) dilengkapi dengan telur rebus dan di ujung tumpeng ditancapkan bawang merah dan cabe merah. Upacara selapanan dilaksankan dengan maksud untuk menghormati roh-roh yang dianggap menjaga bayi dan saudara si bayi yang berjumlah tujuh.
  • Tedhak Siten. Upacara tedhak siten dilaksanakan ketika anak sudah berumur 7 bulan atau 6 lapan. Tedhak artinya turun sedangkan siten berasal dari kata siti yang artinya tanah. Jadi tedhak siten adalah upacara turun tanah bagi anak untuk pertama kali. Upacara tedhak siten disebut juga upacara udhun-udhunan atau mudhun lemah. Latar belakang diadakannya upacara tedhak siten yaitu adanya kepercayaan masyarakat Jawa bahwa tanah mempunyai makna gaib dan dijaga oleh Bathara Kala. Untuk menghindari marabahaya maka diadakan upacara mengenalkan anak kepada Bathara Kala sebagai penjaga tanah agar tidak marah. Adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan weton atau hari lahir anak.
  • Nyapih. Nyapih berasal dari kata sapih yang artinya pisah atau memisahkan. Upacara tersebut bertujuan untuk menyelamati anak pada saat anak tidak lagi menyusu ibunya. Anak disapih biasanya pada umur dua tahun dan disesuaikan dengan weton atau hari lahir anak.


BAGIAN 2

Setelah dibahas pada edisi yang lalu mengenai, bagaimana adat Jawa mengatur prosesi demi prosesi sejak terlahirnya anak manusia, kini kita bahas, bagaimana adat Jawa mengatur prosesi yang musti dilakukan anak ketika menginjak usia remaja hingga menikah.
Ketika anak telah menginjak usia remaja, maka upacara adat yang dilaksanakan antara lain:
  • Sunatan atau Tetakan
Upacara sunatan merupakan upacara saat peralihan seorang anak laki-laki dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada umumnya upacara tersebut dilaksanakan pada saat seorang anak laki-laki berumur 12 tahun. Sunatan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai saat yang berbahaya karena anak berada dalam masa peralihan. Diyakini pada masa itu dilingkupi adanya gangguan kekuatan gaib yang harus disingkirkan. Untuk menyingkirkan gangguang tersebut dibuatlah selamatan. Bagi orang Jawa yang beragama Islam upacara sunatan disebut juga ngislamake. Adapun orang yang bertugas menyunat adalah bong supit, seorang laki-laki yang pekerjaannya menyunat.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa bila anak perempuan sudah berumur 8 tahun atau satu windu perlu disunati. Sunatan bagi anak perempuan tersebut disebut tetesan yang juga dilengkapi dengan selamatan.
  • Perawatan pada waktu haid pertama
Anak perempuan pada usia 12-15 tahun biasanya akan mengalami menstruasi atau haid yang pertama kali. Dalam masyarakat Jawa terdapat adat bagi anak gadis tersebut dilarang keluar rumah selama tiga hari dan rambutnya digelung dengan benang lawe. Selama tiga hari itu pula tidak boleh mandi dan apabila duduk harus beralaskan kantong dari lawon yang berisi jamu galian.

Fase Perkawinan
Setelah menginjak fase remaja, maka selanjutnya fase perkawinan merupakan sebuah fas peralihan kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga. Perkawinan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali seumur hidup. Kesakralan tersebut melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang sangat selektif dan hati-hati baik pada saat pemilihan bakal menantu ataupun penentuan hari pelaksanaan perkawinan.
  • Penentuan bakal menantu
Pasangan suami istri diharapkan hdiup bahagia harmonis selamanya seperti ungkapan Jawa “kaya mimi lan mintuna”. gar harapan tersebut dapat terwujud maka penentuan bakal menantu dalam masyarakat Jawa ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain bibit, bebet, bobot, dan pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman mencari jodoh berdasarkan nama, hari kelahiran, dan neptu. Pedoman tersebut dilakukan baik dari pihak pria maupun pihak wanita. Berdasarkan primbon Betalijemur Adammakna pedoman perjodohan berdasarkan nama dilakukan dengan cara menggabungkan nilai aksara pertama pada nama calon pengantin pria dengan nama calon pengantin perempuan kemudian dibagi 5 dan sisanya diperhitungkan sebagai lambang baik buruknya perjodohan tersebut. Sebagai contoh, seorang laki-laki bernama Bagus akan dijodohkan dengan seorang gadis bernama Niken. Perhitungannya:
Ba (dari Bagus) + Na (dari Niken) = 18 + 2 = 20
Untuk menemukan makna lambang perjodohan kemudian hasil penjumlahan dibagi 5 hasilnya 4 habis. Hal ini sama dengan sisa 5 yang lambangnya pati artinya hidupnya akan sengsara dan sering mendapat bencana kematian. Berdasarkan perhitungan tersebut maka perjodohan antara Bagus dengan Niken tidak baik atau keduanya tidak berjodoh.
  • Nontoni
Nontoni adalah melihat dari dekat tentang keluarga dan pribadi gadis yang dicalonkan sebagai pasangan calon pengantin laki-laki. Pada saat nontoni tersebut keluarga pihak laki-laki dapat melihat calon pengantin wanita secara lahiriah serta dapat memperhatikan juga tentang bibit, bebet, dan bobotnya.
  • Nglamar atau meminang
Peristiwa meminang dalam masyarakat Jawa biasanya dilakukan oleh congkok yang ditujukan kepada orang tua gadis yang akan dijodohkan. Hal ini dimaksudkan agar jika ditolak tidak terlalu menyakitkan hati keluarga pihak laki-laki. Jawaban atas lamaran tersebut sebenarnya bisa saja dijawab saat itu juga, namun biasanya keluarga dari pihak gadis memohon kelonggaran waktu untuk berpikir.
  • Paningsetan
Upacara paningsetan bertujuan untuk memberi tanda secara simbolis bahwa gadis yang telah dilamar sebelumnya telah diikat untuk dijadikan istri. Dalam kesempatan tersebut keluarga pihak laki-laki memberikan barang-barang kepada keluarga pihak perempuan dan barang tersebut diistilahkan sebagai paningset. Barang-barang tersebut berupa seperangkat pakaian (sandhangan sapengadeg) dan kadang disertai pula dengan sepasang cincin.
  • Rangkaian upacara pernikahan
Upacara Siraman.
Setelah pihak laki-laki memberikan paningsetan maka kemudian dilanjutkan dengan pasok tukon atau srah-srahan dengan tujuan meringankan kebutuhan hajatan perkawinan yang akan dilaksanakan. Kemudian menjelang saat perkawinan, calon mempelai perempuan dilarang untuk bertemu calon suaminya dan dilarang keluar rumah, atau disebut dengan tradisi pingitan yang berkisar selama 7 hari atau seminggu. Pada sekitar satu minggu sebelum upacara perkawinan, keluarga mempelai perempuan melakukan ritual tarub sebagai simbol dari harapan-harapan bagi mempelai berdua dalam menjalankan kehidupan rumah tangga dan untuk menghias rumah atau tempat tersebut supaya nampak indah dan megah. Hiasan utama dari tarub berupa bleketepe yang dibuat dari janur kuning dan tuwuhan. Kemudian dilanjutkan dengan upacara siraman dengan maksud mensucikan calon pengantin sebelum upacara perkawinan dan dapat dilaksanakan bersamaan untuk kedua mempelai namun secara terpisah. Jika dilakukan secara terpisah maka keluarga pihak calon mempelai pria terlebih dahulu meminta air sebagai syarat untuk melakukan upacara siraman kepada keluarga calon mempelai puteri. Kemudian pada malam hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan keluarga pihak mempelai perempuan mengadakan tirakatan semalam suntuk yang disebut malam midodareni. Sesaji yang disediakan ialah kembar mayang dan sirih dipajang di kamar pengantin, nasi wuduk dan ingkung ayam. Keesokan harinya kemudian dilaksanakan ijab dan panggih. Ijab adalah pengucapan kaul atau janji pernikahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan disaksikan wali dan keluarga baik dari pihak mempelai laki-laki maupun wanita. Upacara panggih dilakukan di depan gapuran pawiwahan dengan urutan : balangan gantal, midak wiji atau mecah wiji adi, mijikan, dilempari dengan bunga manca warna, sinduran, bobot timbang, nanem jero, kacar-kucur, dan dulangan.
Upacara daur hidup selanjutnya adalah upacara kematian. Dalam urusan kematian, jelas bahwa pati adalah kekuasaan dan wewenang Tuhan dalam rangka menutup kehidupan seseorang. Manusia mati, sebaiknya dapat kembali pulang ke jagad asalnya. Semua pinjaman (gadhuhan) yang berwujud raga hendaknya dapat kembali dengan sempurna kepada pemiliknya (asal-usulnya) yaitu jagad raya. Yang tadinya wujud tinggal “nama”, yaitu nama baik seseorang yang setelah meninggal dapat diteladani oleh anak-cucunya. Slametan untuk kematian adalah upacara pengembalian jasad pinjaman kepada pemiliknya. Sesaji juga merupakan perwujudan bakti dan hormat dari keluarga kepada leluhurnya yang sudah meningal. Sesajinya berwujud tumpeng sinigar yang dibelah membujur dan diletakkan saling membelakangi, yang merupakan perlambang bahwa jasad si mati akan lepas mengurai kembali kepada jagad raya. Urutan-urutan upacara sejak hari kematian (surtanah atau bedhah bumi) hingga 1000 hari sejak meninggal, merupakan simbol-simbol penggambaran proses kembalinya jasad menjadi unsur-unsur bumi di dalam kuburnya. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, penjelasan proses pengembalian jasad ini cukup gamblang dan dilengkapi dengan gambar-gambar.


BAGIAN 3

Konsep Agami Jawi kepada Kehidupan Sesudah Mati dan Alam Baka
Iring-iringan jenazah Sri Sultan Hamengkubuwono IX

(Foto: Istimewa)
Keyakinan orang Jawa akan kehidupan sesudah mati pada umumnya orang Jawa berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) yang disebut lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa dari sifat (kemampuan) spiritual dan mistisme gaib ternyata juga dapat dimiliki oleh orang yang meninggal. Beberapa jam sebelum meninggal, tubuh seseorang dalam keadaan tidur secara organik. Rohnya, karena ingin mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga atau teman, daya pikirnya memiliki kekuatan untuk mewujudkan diri. Oleh karena itu orang ini dapat menampakkan diri kepada teman atau keluarga meskipun mereka berada di tempat yang jauh. Penampakan diri ini tampil sebagai orang yang masih hidup, namun tidak memiliki kemampuan bicara. Orang yang dalam keadaan demikian juga dapat menulis menggunakan tangan orang yang tidak dikenal. Bahkan bisa saja tulisan tersebut menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh orang yang menulisnya. Ketika roh orang yang hampir meninggal merasuk ke seseorang bisa terjadi orang yang dirasuki berbicara menggunakan bahasa roh orang tersebut yang tidak dipahami oleh orang yang tubuhnya digunakan. Roh halus ini juga dapat menggunakan magnet pribadi orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan jasmaniah. Sementara itu, orang yang digunakannya, ketika dalam keadaan tidak dirasuki, sama sekali tidak mampu melakukan ini.
Mengenai kepercayaan terhadap alam baka, penganut Kejawen mempercayai alam semesta terdiri atas tiga daerah besar, yaitu daerah kehidupan, daerah astral, dan daerah halus. Daerah kehidupan adalah daerah dimana kita hidup. Daerah astral adalah daerah perlihan dimana badan halus manusia yang sudah meninggal masih melekat pada rohnya. Alam halus adalah alam tempat berdiam para roh. Tempat ini juga disebut sebagai daerah kelangitan atau Swarga. Di lingkungan bumi, terdapat dua wilayah yang disebut sebagai kehidupan nyata dan daerah astral. Kehidupan nyata berada pada bumi kita. Daerah astral terbagi dalam Kamaloka dan Naraka. Naraka terdiri atas tujuh bola (wilayah kehidupan) dan sesuai hukum pantulan, Kamaloka juga terdiri atas bola-bola. Bumi kita adalah bola kesatu di lingkungan Naraka dan bumi kesatu di Kamaloka. Bola kesatu di Naraka adalah bumi yang menjadi daerah kehidupan manusia. Bola kesatu di Kamaloka adalah bumi kita juga, namun di wilayah astral tempat roh berbadan halus hidup. Jadi, kedua bola kesatu tersebut adalah bumi, namun di wilayah kehidupan yang berbeda.
Tujuh bola di lingkungan Naraka dinamakan neraka-neraka hidup, juga disebut neraka yang berada di bawah bumi. Pantulan dari ketujuh bola ini ke daerah astral akan membentuk tujuh bola lain yang disebut bola-bola astral, yang karena hukum alam tidak saja terikat satu dan lainnya, tapi juga berhubungan dengan bola-bola di Naraka. Bola-bola astral ini bersama-sama membentuk satu bola yang dinamakan Kamaloka (tempat tinggal roh halus). Jarak dari bola kesatu dari Naraka dan bola kesatu dari Kamaloka adalah jalan astral. Jalan ini juga dinamakan jembatan Wot agil-agil. Wot agil-agil adalah jembatan yang terdiri atas rambut-rambut perempuan yang dipecah menjadi tujuh dan diikat menjadi satu. Sebenarnya jembatan ini adalah jembatan bayangan. Wot agil-agil dapat dianggap sebagai hukum alam yang akan membawakan roh sesudah kematian badaniahnya menuju suatu bola yang sesuai.
Kamaloka sebagai temat tinggal roh-roh yang sudah meninggal akan menjadi tempat bagi roh yang baru tiba sebagai sarana belajar untuk menanggalkan pikiran dan kesenangan (Kama). Roh yang sudah berhasil melepas sifa kebinatangannya, dan melalui kematian yang kedua, berpindah tempat ke bumi yang terletak pada lapisan langit pertama. Badan ini merupakan sebuah roh (ajal) yang disebabkan hukum alam ditarik ke alam dunia dan akan melebur di sana secara perlahan-lahan. Manusia yang selama hidupnya mengumbar hawa nafsu, terbiasa dengan cara hidup semacam itu, rohnya telah dihinggapi dengan berbagai keburukan. Setelah meninggalnya seseorang, keburukan ini memengaruhi badan halusnya. Ketika roh dan badan halus terlepas dari Wethala-nya pada hari ketiga hingga ketujuh, sifat dari badan halusnya tidak akan mengalami perubahan. Badan halus itu tetap berada dalam keadaan cenderung ke kehidupan yang ada sehingga menjadi terlalu besar untuk berpindah ke Kamaloka (tempat tinggal para roh halus di kelangitan). Bagi manusia yang semasa hidupnya berlaku baik, proses perubahan badan halus dinamakan Iyatama. Dalam Iyatama, badan halus berubah menjadi bentuk yang sesuai untuk bertempat tinggal di dunia roh halus atau dunia kelangitan. Roh yang badan halusnya telah bebas dari hawa nafsu dan kesenangan dinamakan Moksha. Roh ini akan berpindah menuju ke kelangitan pertama. Sementara itu proses perubahan badan halus dari manusia yang selama hidupnya berbuat jahat dinamakan Dhruwan. Dalam Dhruwan, badan halus akan berubah bentuk kasar. Roh dengan badan halus yang “kasar” lebih cocok untuk tinggal di lingkungan Naraka (suatu lingkungan yang digambarkan memiliki kedudukan lebih rendah dan bumi tempat kehidupan nyata).
Ada pula keadaan yang lebih tinggi dari Moksha, yaitu bila roh dapat mencapai lapisan langit yang keempat, yang kemudian sampai di daerah langit yang kelima. Di sini, roh dalam badan halus berubah dari “rupa” ke “arupa”. Keadaan ini dinamakan Saiyadiyam, yaitu mencapai satu kesatuan dengan Tuhan. Bilamana roh telah sampai dalam keadaan ini maka setelah kematian dalam wujudnya akan sampai pada daerah di lelangitan kelima. Di wilayah lelangitan kelima, jiwa telah murni atau “arupa”.


No comments:

Post a Comment

KARANG TARUNA

BENDERA KARANG TARUNA Bendera Karang Taruna adalah bendera resmi yang menjadi simbol dan perlambang utama organisasi Karang Taruna sebagai...