*diambil dari artikel seorang sejarawan dan pemerhati budaya
-------------------------------
-------------------------------
BAGIAN 1
Sesaji
dan slametan adalah sarana untuk berinteraksi dengan makhluk yang tidak kasat
mata (gaib) dengan tujuan sama-sama berbakti kepada Gusti Kang Murbeng
Dumadi. Wujud upacara slametan mungkin berbeda-beda dari desa yang satu
dengan desa yang lainnya. Hal itu terkait dengan kemakmuran dan luas atau
sempitnyaa wilayah desa maupun kabuyutan masing-masing. Ada yang cukup
ber-slametan berupa sesaji sederhana di tempat-tempat yang dianggap dihuni oleh
makhluk gaib. Ada juga yang disertai upacara yang memerlukan
medium atau perantara antara manusia dengan para makhluk gaib yang menghuni
suatu desa. Dukun, penari tayub atau ronggeng dan dalang menjadi medium
terlebih dahulu. Artinya, makhluk gaib di desa tersebut dalam memberi jawaban
ajakan pergaulan warga manusia melalui medium tersebut. Banyak juga medium yang
berasal dari Ki Buyut desa itu sendiri.
Dalam
kaitannya dengan upacara daur hidup, laku budaya slametan juga dilakukan untuk
menyambut kelahiran bayi, upacara pengantin, dan untuk ngrukti layon. Sajen
bahkan juga turut disertakan dalam selametan memulai diri pribadi yang
dilaksanakan setahun sekali pada hari kelahiran atau pada weton berdasar
hitungan penanggalan Jawa. Ada beberapa pilihan dan alternatif uborampe ,
di antaranya berupa:
- Sega biru atau nasi biru dengan
lauk kerbau satu
- Tumpeng megana di dalamnya
diisi daging ayam putih mulus dan pada bagian luar diberi gudangan manca
warna
- Nasi kuning dengan lauk kerbau
satu yang digoreng
- Nasi gurih dengan bumbu
rempah-rempah dari telur ayam dimasak menggunakan kuali yang mash baru dan
tempat memasaknya di tengah halaman dengan menggunakan kayu pelupuh.
Ketika menyalakan api, wajib menggunakan merang. Uborampe ini
disertai dengan sayur 7 macam.
- Nasi lemak lauk ayam putih
mulus
- Tumpeng lauk sayur dedaunan 7
macam tanpa bumbu atau tanpa rasa (anyepan)
- Nasi kebuli
- Kupat Luwar 70 buah disertai
lauk berupa kerbau satu dijadikan 70 bagian
- Sego golong, pecel ayam, jangan
menir dan masakan melukut
- Jenang abang, jenang cocor,
jenang lemu, jenang lowok, jenang sumsum, jenang bening, jenang katul,
jenang lahan, bubur jagung, abon, dan panjang
- Srabi abang putih, bikang abang
putih, pasun abang putih, tumpi, sawutan, klepon, apem, pala, kembang pai,
paksawutan angin, utri, brondong, kelapa wutuh, gedang mas 2 tangkep, tebu
wulung 4 batang, cempaka 40 pasang.
Slametan
dan Gerbang Kelahiran Anak Manusia
Selamatan
juga dilakukan pada masa kehamilan, dengan harapan memperoleh keselamatan hidup
pada masa kehamilan. Hal ini dilakukan dengan mengadakan selamatan sesuai
dengan usia bayi yang dikandung oleh seorang calon ibu. Adapun selamatan
tersebut meliputi :
- Kehamilan satu bulan dengan
sesaji berupa bubur sungsum yang dicampur dengan santan yang diberi gula
jawa.
- Kehamilan dua bulan dan tiga
bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng, gudhangan dan berbagai macam
sambal. Adapun lauknya berupa sebutir telur yang dibelah menjadi lima
bagian. Sesaji yang berupa jenang meliputi jenang merah, jenang merah
puti, dan jenang bar-baro. Selain itu dilengkapi pula dengan jajan pasar
dan empon-empon.
- Kehamilan empat bulan disebut ngupati.
Sesajinya berupa nasi kuning dengan lauk daging kerbau semua bagian tetapi
hanya sedikit saja. Perlengkapannya berupa ketupat sinta, jago, sido
lungguh, dan luar.
- Kehamilan lima bulan dengan
sesaji berupa nasi tumpeng dari nasi punar, nasi putih dan nasi asahan,
enten-enten dan uler-uleran.
- Kehamilan tujuh bulan disebut tingkeban
dan mitoni. Upacara tujuh bulan dalam masyarakat Jawa paling
sering dilakukan di kalangan masyarakat jawa dibandingkan uacara kehamilan
lainnya.
- Kehamilan bulan kesembilan
dengan sesaji berupa jenang procot. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan
agar bayi yang ada dalam kandungan dapat lahir dengan mudah tanpa halangan
apapun. Jenang procot ialah jenang yang dibuat dari tepung beras yang diberi
cairan gula kelapa dan pisang raja.
Adapun
ketika bayi dilahirkan, maka dalam adat Jawa juga banyak diselenggarakan
upacara-upacara adat untuk menyambut kelahiran si jabang bayi, antara lain :
- Upacara Brokohan. Selamatan ini
dilaksanakan pertama kali ketika bayi lahir dan dilaksanakan dengan tujuan
memberitahukan kepada warga sekitar bahwa telah lahir seorang bayi dengan
selamat. Tata cara pelaksanaan brokohan sama dengan mengadakan selamatan biasa.
Adapun sesaji yang harus dipersiapkan yaitu sega asahan, daging
kerbau siji artinya semua bagian badan kerbau sedikit-sedikit, pecel
ayam, jangan menir, dan gudhangan.
- Upacara Sepasar atau Puputan.
Sepasar merupakan satuan waktu bagi masyarakat Jawa dengan kurun waktu
lima hari. Upacara sepasaran biasanya dilakukan bersamaan dengan puputan.
Puputan merupakan peristiwa putusnya tali pusat bayi. Hal ini terjadi
biasanya setelah bayi berumur lima hari sehingga kemudian pelaksanaannya
dilaksanakan bersamaan dengan sepasaran. Namun jika bayi setelah sepasar
belum puput maka pelaksanaan sepasaran bisa lebih dahulu atau dilakukan
dengan menunggu uputan, tergntung kebijakan orang tua si bayi. Selamatan
sepasaran atau puputan menggunakan sesaji makanan antara lain berupa nasi
tumpeng dan golong yang dilengkapi denga lauk pauk yang terdiri atas
panggang ayam, gudhangan, dan telur rebus; jajan pasar; dan jenang putih,
merah putih, dan baro-baro. Pada pagi harinya setelah malam sepasaran
diadakan bancakan. Bancakan merupakan kenduri kecil yang dibagikan untuk
anak-anak. Adapun makanan tersebut berupa nasi tumpeng, gudhangan, dan
telur rebus.
- Selapanan. Upacara
selamatan selapanan diadakan setelah bayi berumur 35 hari, dengan
sajiannya berupa nasi tumpeng, gudhangan, telur rebus, jenang merah,
putih, merah putih, palang dan baro-baro, jajan pasar, dan inthuk-inthuk
yakn tumpeng kecil yang ditaruh di dalam tempurung kelapa (bathok bolu)
dilengkapi dengan telur rebus dan di ujung tumpeng ditancapkan bawang
merah dan cabe merah. Upacara selapanan dilaksankan dengan maksud untuk
menghormati roh-roh yang dianggap menjaga bayi dan saudara si bayi yang
berjumlah tujuh.
- Tedhak Siten. Upacara tedhak
siten dilaksanakan ketika anak sudah berumur 7 bulan atau 6 lapan. Tedhak
artinya turun sedangkan siten berasal dari kata siti yang
artinya tanah. Jadi tedhak siten adalah upacara turun tanah bagi anak
untuk pertama kali. Upacara tedhak siten disebut juga upacara udhun-udhunan
atau mudhun lemah. Latar belakang diadakannya upacara tedhak siten
yaitu adanya kepercayaan masyarakat Jawa bahwa tanah mempunyai makna gaib
dan dijaga oleh Bathara Kala. Untuk menghindari marabahaya maka diadakan
upacara mengenalkan anak kepada Bathara Kala sebagai penjaga tanah agar
tidak marah. Adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan weton atau hari
lahir anak.
- Nyapih. Nyapih berasal dari
kata sapih yang artinya pisah atau memisahkan. Upacara tersebut bertujuan
untuk menyelamati anak pada saat anak tidak lagi menyusu ibunya. Anak
disapih biasanya pada umur dua tahun dan disesuaikan dengan weton atau
hari lahir anak.
BAGIAN 2
Setelah
dibahas pada edisi yang lalu mengenai, bagaimana adat Jawa mengatur prosesi
demi prosesi sejak terlahirnya anak manusia, kini kita bahas, bagaimana adat
Jawa mengatur prosesi yang musti dilakukan anak ketika menginjak usia remaja
hingga menikah.
Ketika
anak telah menginjak usia remaja, maka upacara adat yang dilaksanakan antara
lain:
- Sunatan atau Tetakan
Upacara
sunatan merupakan upacara saat peralihan seorang anak laki-laki dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Pada umumnya upacara tersebut dilaksanakan pada
saat seorang anak laki-laki berumur 12 tahun. Sunatan bagi masyarakat Jawa
diyakini sebagai saat yang berbahaya karena anak berada dalam masa peralihan.
Diyakini pada masa itu dilingkupi adanya gangguan kekuatan gaib yang harus
disingkirkan. Untuk menyingkirkan gangguang tersebut dibuatlah selamatan. Bagi
orang Jawa yang beragama Islam upacara sunatan disebut juga ngislamake.
Adapun orang yang bertugas menyunat adalah bong supit, seorang laki-laki
yang pekerjaannya menyunat.
Dalam
kehidupan masyarakat Jawa bila anak perempuan sudah berumur 8 tahun atau satu
windu perlu disunati. Sunatan bagi anak perempuan tersebut disebut tetesan yang
juga dilengkapi dengan selamatan.
- Perawatan pada waktu haid
pertama
Anak
perempuan pada usia 12-15 tahun biasanya akan mengalami menstruasi atau haid
yang pertama kali. Dalam masyarakat Jawa terdapat adat bagi anak gadis tersebut
dilarang keluar rumah selama tiga hari dan rambutnya digelung dengan benang
lawe. Selama tiga hari itu pula tidak boleh mandi dan apabila duduk harus
beralaskan kantong dari lawon yang berisi jamu galian.
Fase
Perkawinan
Setelah
menginjak fase remaja, maka selanjutnya fase perkawinan merupakan sebuah fas
peralihan kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga. Perkawinan
bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan
dalam menjalaninya cukup sekali seumur hidup. Kesakralan tersebut
melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang sangat
selektif dan hati-hati baik pada saat pemilihan bakal menantu ataupun penentuan
hari pelaksanaan perkawinan.
- Penentuan bakal menantu
Pasangan
suami istri diharapkan hdiup bahagia harmonis selamanya seperti ungkapan Jawa “kaya
mimi lan mintuna”. gar harapan tersebut dapat terwujud maka penentuan bakal
menantu dalam masyarakat Jawa ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain bibit,
bebet, bobot, dan pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah
pedoman mencari jodoh berdasarkan nama, hari kelahiran, dan neptu.
Pedoman tersebut dilakukan baik dari pihak pria maupun pihak wanita.
Berdasarkan primbon Betalijemur Adammakna pedoman perjodohan berdasarkan nama
dilakukan dengan cara menggabungkan nilai aksara pertama pada nama calon
pengantin pria dengan nama calon pengantin perempuan kemudian dibagi 5 dan
sisanya diperhitungkan sebagai lambang baik buruknya perjodohan tersebut.
Sebagai contoh, seorang laki-laki bernama Bagus akan dijodohkan dengan seorang
gadis bernama Niken. Perhitungannya:
Ba
(dari Bagus) + Na (dari Niken) = 18 + 2 = 20
Untuk
menemukan makna lambang perjodohan kemudian hasil penjumlahan dibagi 5 hasilnya
4 habis. Hal ini sama dengan sisa 5 yang lambangnya pati artinya
hidupnya akan sengsara dan sering mendapat bencana kematian. Berdasarkan
perhitungan tersebut maka perjodohan antara Bagus dengan Niken tidak baik atau
keduanya tidak berjodoh.
- Nontoni
Nontoni
adalah melihat dari dekat tentang keluarga dan pribadi gadis yang dicalonkan
sebagai pasangan calon pengantin laki-laki. Pada saat nontoni tersebut keluarga
pihak laki-laki dapat melihat calon pengantin wanita secara lahiriah serta
dapat memperhatikan juga tentang bibit, bebet, dan bobotnya.
- Nglamar atau meminang
Peristiwa
meminang dalam masyarakat Jawa biasanya dilakukan oleh congkok yang
ditujukan kepada orang tua gadis yang akan dijodohkan. Hal ini dimaksudkan agar
jika ditolak tidak terlalu menyakitkan hati keluarga pihak laki-laki. Jawaban
atas lamaran tersebut sebenarnya bisa saja dijawab saat itu juga, namun
biasanya keluarga dari pihak gadis memohon kelonggaran waktu untuk berpikir.
- Paningsetan
Upacara
paningsetan bertujuan untuk memberi tanda secara simbolis bahwa gadis yang
telah dilamar sebelumnya telah diikat untuk dijadikan istri. Dalam kesempatan
tersebut keluarga pihak laki-laki memberikan barang-barang kepada keluarga
pihak perempuan dan barang tersebut diistilahkan sebagai paningset.
Barang-barang tersebut berupa seperangkat pakaian (sandhangan sapengadeg)
dan kadang disertai pula dengan sepasang cincin.
- Rangkaian
upacara pernikahan
Upacara Siraman.
Setelah pihak laki-laki memberikan paningsetan
maka kemudian dilanjutkan dengan pasok tukon atau srah-srahan dengan tujuan
meringankan kebutuhan hajatan perkawinan yang akan dilaksanakan. Kemudian
menjelang saat perkawinan, calon mempelai perempuan dilarang untuk bertemu
calon suaminya dan dilarang keluar rumah, atau disebut dengan tradisi pingitan
yang berkisar selama 7 hari atau seminggu. Pada sekitar satu minggu sebelum
upacara perkawinan, keluarga mempelai perempuan melakukan ritual tarub sebagai
simbol dari harapan-harapan bagi mempelai berdua dalam menjalankan kehidupan
rumah tangga dan untuk menghias rumah atau tempat tersebut supaya nampak indah
dan megah. Hiasan utama dari tarub berupa bleketepe yang dibuat dari
janur kuning dan tuwuhan. Kemudian dilanjutkan dengan upacara siraman dengan
maksud mensucikan calon pengantin sebelum upacara perkawinan dan dapat
dilaksanakan bersamaan untuk kedua mempelai namun secara terpisah. Jika
dilakukan secara terpisah maka keluarga pihak calon mempelai pria terlebih
dahulu meminta air sebagai syarat untuk melakukan upacara siraman kepada
keluarga calon mempelai puteri. Kemudian pada malam hari sebelum upacara
perkawinan dilangsungkan keluarga pihak mempelai perempuan mengadakan tirakatan
semalam suntuk yang disebut malam midodareni. Sesaji yang disediakan ialah
kembar mayang dan sirih dipajang di kamar pengantin, nasi wuduk dan ingkung
ayam. Keesokan harinya kemudian dilaksanakan ijab dan panggih. Ijab
adalah pengucapan kaul atau janji pernikahan yang dilakukan oleh pihak
laki-laki dengan disaksikan wali dan keluarga baik dari pihak mempelai
laki-laki maupun wanita. Upacara panggih dilakukan di depan gapuran
pawiwahan dengan urutan : balangan gantal, midak wiji atau mecah
wiji adi, mijikan, dilempari dengan bunga manca warna, sinduran,
bobot timbang, nanem jero, kacar-kucur, dan dulangan.
Upacara daur hidup selanjutnya adalah upacara
kematian. Dalam urusan kematian, jelas bahwa pati adalah kekuasaan dan
wewenang Tuhan dalam rangka menutup kehidupan seseorang. Manusia mati,
sebaiknya dapat kembali pulang ke jagad asalnya. Semua pinjaman (gadhuhan)
yang berwujud raga hendaknya dapat kembali dengan sempurna kepada pemiliknya
(asal-usulnya) yaitu jagad raya. Yang tadinya wujud tinggal “nama”, yaitu nama
baik seseorang yang setelah meninggal dapat diteladani oleh anak-cucunya.
Slametan untuk kematian adalah upacara pengembalian jasad pinjaman kepada
pemiliknya. Sesaji juga merupakan perwujudan bakti dan hormat dari keluarga
kepada leluhurnya yang sudah meningal. Sesajinya berwujud tumpeng sinigar yang
dibelah membujur dan diletakkan saling membelakangi, yang merupakan perlambang
bahwa jasad si mati akan lepas mengurai kembali kepada jagad raya.
Urutan-urutan upacara sejak hari kematian (surtanah atau bedhah bumi) hingga
1000 hari sejak meninggal, merupakan simbol-simbol penggambaran proses
kembalinya jasad menjadi unsur-unsur bumi di dalam kuburnya. Dalam Serat Wirid
Hidayat Jati, penjelasan proses pengembalian jasad ini cukup gamblang dan
dilengkapi dengan gambar-gambar.
BAGIAN 3
Konsep Agami Jawi kepada Kehidupan Sesudah
Mati dan Alam Baka
Iring-iringan jenazah Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
(Foto: Istimewa)
Keyakinan orang Jawa akan kehidupan sesudah mati
pada umumnya orang Jawa berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal,
jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) yang disebut lelembut, dan
berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa dari sifat (kemampuan)
spiritual dan mistisme gaib ternyata juga dapat dimiliki oleh orang yang meninggal.
Beberapa jam sebelum meninggal, tubuh seseorang dalam keadaan tidur secara
organik. Rohnya, karena ingin mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga atau
teman, daya pikirnya memiliki kekuatan untuk mewujudkan diri. Oleh karena itu
orang ini dapat menampakkan diri kepada teman atau keluarga meskipun mereka
berada di tempat yang jauh. Penampakan diri ini tampil sebagai orang yang masih
hidup, namun tidak memiliki kemampuan bicara. Orang yang dalam keadaan demikian
juga dapat menulis menggunakan tangan orang yang tidak dikenal. Bahkan bisa
saja tulisan tersebut menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh orang yang
menulisnya. Ketika roh orang yang hampir meninggal merasuk ke seseorang bisa
terjadi orang yang dirasuki berbicara menggunakan bahasa roh orang tersebut
yang tidak dipahami oleh orang yang tubuhnya digunakan. Roh halus ini juga
dapat menggunakan magnet pribadi orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan
jasmaniah. Sementara itu, orang yang digunakannya, ketika dalam keadaan tidak
dirasuki, sama sekali tidak mampu melakukan ini.
Mengenai kepercayaan terhadap alam baka, penganut
Kejawen mempercayai alam semesta terdiri atas tiga daerah besar, yaitu daerah
kehidupan, daerah astral, dan daerah halus. Daerah kehidupan adalah daerah
dimana kita hidup. Daerah astral adalah daerah perlihan dimana badan halus
manusia yang sudah meninggal masih melekat pada rohnya. Alam halus adalah alam
tempat berdiam para roh. Tempat ini juga disebut sebagai daerah kelangitan atau
Swarga. Di lingkungan bumi, terdapat dua wilayah yang disebut sebagai kehidupan
nyata dan daerah astral. Kehidupan nyata berada pada bumi kita. Daerah astral
terbagi dalam Kamaloka dan Naraka. Naraka terdiri atas
tujuh bola (wilayah kehidupan) dan sesuai hukum pantulan, Kamaloka juga
terdiri atas bola-bola. Bumi kita adalah bola kesatu di lingkungan Naraka dan
bumi kesatu di Kamaloka. Bola kesatu di Naraka adalah bumi yang
menjadi daerah kehidupan manusia. Bola kesatu di Kamaloka adalah bumi
kita juga, namun di wilayah astral tempat roh berbadan halus hidup. Jadi, kedua
bola kesatu tersebut adalah bumi, namun di wilayah kehidupan yang berbeda.
Tujuh bola di lingkungan Naraka dinamakan
neraka-neraka hidup, juga disebut neraka yang berada di bawah bumi. Pantulan
dari ketujuh bola ini ke daerah astral akan membentuk tujuh bola lain yang
disebut bola-bola astral, yang karena hukum alam tidak saja terikat satu dan
lainnya, tapi juga berhubungan dengan bola-bola di Naraka. Bola-bola
astral ini bersama-sama membentuk satu bola yang dinamakan Kamaloka (tempat
tinggal roh halus). Jarak dari bola kesatu dari Naraka dan bola kesatu
dari Kamaloka adalah jalan astral. Jalan ini juga dinamakan jembatan Wot
agil-agil. Wot agil-agil adalah jembatan yang terdiri atas rambut-rambut
perempuan yang dipecah menjadi tujuh dan diikat menjadi satu. Sebenarnya
jembatan ini adalah jembatan bayangan. Wot agil-agil dapat dianggap
sebagai hukum alam yang akan membawakan roh sesudah kematian badaniahnya menuju
suatu bola yang sesuai.
Kamaloka sebagai temat tinggal roh-roh
yang sudah meninggal akan menjadi tempat bagi roh yang baru tiba sebagai sarana
belajar untuk menanggalkan pikiran dan kesenangan (Kama). Roh yang sudah
berhasil melepas sifa kebinatangannya, dan melalui kematian yang kedua,
berpindah tempat ke bumi yang terletak pada lapisan langit pertama. Badan ini
merupakan sebuah roh (ajal) yang disebabkan hukum alam ditarik ke alam dunia
dan akan melebur di sana secara perlahan-lahan. Manusia yang selama hidupnya
mengumbar hawa nafsu, terbiasa dengan cara hidup semacam itu, rohnya telah
dihinggapi dengan berbagai keburukan. Setelah meninggalnya seseorang, keburukan
ini memengaruhi badan halusnya. Ketika roh dan badan halus terlepas dari Wethala-nya
pada hari ketiga hingga ketujuh, sifat dari badan halusnya tidak akan mengalami
perubahan. Badan halus itu tetap berada dalam keadaan cenderung ke kehidupan
yang ada sehingga menjadi terlalu besar untuk berpindah ke Kamaloka (tempat
tinggal para roh halus di kelangitan). Bagi manusia yang semasa hidupnya
berlaku baik, proses perubahan badan halus dinamakan Iyatama. Dalam Iyatama,
badan halus berubah menjadi bentuk yang sesuai untuk bertempat tinggal di dunia
roh halus atau dunia kelangitan. Roh yang badan halusnya telah bebas dari hawa
nafsu dan kesenangan dinamakan Moksha. Roh ini akan berpindah menuju ke
kelangitan pertama. Sementara itu proses perubahan badan halus dari manusia
yang selama hidupnya berbuat jahat dinamakan Dhruwan. Dalam Dhruwan,
badan halus akan berubah bentuk kasar. Roh dengan badan halus yang “kasar”
lebih cocok untuk tinggal di lingkungan Naraka (suatu lingkungan yang
digambarkan memiliki kedudukan lebih rendah dan bumi tempat kehidupan nyata).
Ada pula keadaan yang lebih tinggi dari Moksha,
yaitu bila roh dapat mencapai lapisan langit yang keempat, yang kemudian sampai
di daerah langit yang kelima. Di sini, roh dalam badan halus berubah dari
“rupa” ke “arupa”. Keadaan ini dinamakan Saiyadiyam, yaitu mencapai satu
kesatuan dengan Tuhan. Bilamana roh telah sampai dalam keadaan ini maka setelah
kematian dalam wujudnya akan sampai pada daerah di lelangitan kelima. Di
wilayah lelangitan kelima, jiwa telah murni atau “arupa”.
No comments:
Post a Comment